SITUS MOHAMMAD ARSIN

SELAMAT DATANG DI SITUS RESMI " WWW.MOHAMMAD ARSIN.BLOGSPOT.COM" SEMOGA BERMANFA'AT

Jumat, 01 Juli 2016

PEMBAHARUAN PEMIKIRAN TENTANG ILMU LADUNI


PEMBAHARUAN PEMIKIRAN 
TENTANG ILMU LADUNI 
-Antara Imam Al-Ghazali dan KH Zezen ZA Bazul Asyhab-
Pemahaman yang beredar di masyarakat tentang ilmu laduni adalah ilmu yang diperoleh tanpa proses belajar terlebih dahulu, hanya dengan mengamalkan wirid-wirid tertentu misalkan, Alloh melimpahkan ilmu begitu saja kepada yang orang yang bersangkutan.
Dampaknya banyak penuntut ilmu yang terjebak, beranggapan tidak perlu susah payah belajar, toh nanti bisa “membeli” ilmu laduni, menyepelekan proses perolehan ilmu melalui belajar, dan berani membayar jutaan rupiah kepada orang yang konon bisa mengijazahkan wirid ilmu laduni. Tak sedikit juga yang dipermainkan lamunan berharap mendapatkannya tanpa upaya yang jelas.
Benarkah ilmu laduni sperti itu?
Secara bahasa laduni berasal dari bahasa arab, merupakan hasil penggabungan kata ladun (لَدُنْ) dan ya mutakallim (يْ) sebagai bentuk kata ganti orang pertama tunggal (aku). Dalam tata bahasa arab, kata ladun (لَدُنْ) digunakan untuk menunjukkan makna tempat yang sangat dekat, biasanya diterjemahkan menjadi “sisi”. Maka ilmu laduni bisa diartikan sebagai “ilmu dari sisi-Ku (Alloh)”.
Penggunaan istilah ilmu laduni ini merujuk kepada salah satu ayat dalam al Quran yaitu surat al Kahfi ayat 65 ;
فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا
“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ILMU DARI SISI KAMI”
Menurut KH Zezen ZA Bazul Asyhab (pangersa Uwa) ilmu laduni adalah "ilmu yang diberikan oleh Alloh kepada orang yang sudah belajar lama, susah payah, mengunakan modal besar, ilmu yang diperoleh ia amalkan oleh dirinya, diberikan dan dibimbingkan kepada orang lain dengan ikhlas tanpa meminta imbalan, tidak pula mengharap jabatan dan sanjungan dll, maka Alloh menilai orang tersebut benar-benar ikut menggarap kebun Alloh (agama), karena semua itu maka Alloh bantu ia dengan ilmu-ilmu yang langsung Alloh berikan kepadanya"
Dari kedua pengertian di atas dapat kita ketahui bahwa memang benar ilmu laduni itu langsung diberikan oleh Alloh, tanpa perantara guru atau buku tetapi untuk menghasilkannya harus memenuhi syarat-syarat sbb :

1. Ada upaya mempelajari berbagai ilmu dengan sungguh-sungguh
2. Ilmu yang sudah didapatkan diamalkan dengan ikhlas, dan
3. Berupaya menyebarluaskan ilmunya kepada orang lain serta mengajak dan membimbing
Ternyata apa yang disampaikan pangersa uwa tentang ilmu laduni, hampir sama dengan apa yang disampaikan oleh imam Al-Ghazali dalam kitabnya Arrisalatu al laduniyyah, pada fasal “hakikat ilmu laduni dan sebab-sebab menghasilkannya”, beliau menyebutkan ada 3 proses yang harus ditempuh dalam menghasilkan ilmu laduni, yaitu ;
1. Berusaha memperoleh seluruh ilmu, dan mencapai bagian yang sempurna dari kebanyakan ilmu-ilmu tersebut
2. Riyadhoh yang benar dan muroqobah yang kuat. Maksud riyadoh dan muroqobah disini adalah perjuangan mengamalkan ilmu-ilmu yang sudah ada dengan ikhlas, oleh karena itu pada pembahasan bagian ini imam al Ghazali mengutip dua buah hadits :
من عمل بما علم اورثه الله علم مالم يعلم

Barangsiapa mengamalkan apa yang ia ketahui, maka Alloh akan mewariskan baginya apa yang belum ia ketahui. Hadits lainnya yaitu
من أخلص لله أربعين صباحا أظهر الله تعالى ينابع الحكمة من قلبه على لسانه

Barangsiapa mengikhlaskan dirinya untuk Alloh selama 40 subuh, maka Alloh akan menampakkan sumber-sumber hikmah dari qalbunya melalui lisannya.
3. Tafakkur ( berfikir dengan ilmu-ilmu yang sudah ia miliki)
Walaupun antara pangersa uwa dan imam Al Ghazali ada perbedaan pada poin nomor 3, namun keduanya sepakat bahwa ilmu laduni Alloh berikan kepada orang yang sudah berjuang mempelajari berbagai disiplin ilmu dan mengamalkannya dengan ikhlas, bukan tanpa didahului proses belajar samasekali.
Dengan demikian, bagi siapa saja yang berharap mendapat ilmu laduni hendaklah berusaha mempelajari berbagai ilmu dengan sungguh-sungguh dan melaksanakan tahapan-tahapan selanjutnya sesuai yang diutarakan di atas.


Download Button

PEMBAHARUAN PEMIKIRIAN TENTANG MEMPELAJARI RUH

PEMBAHARUAN PEMIKIRIAN TENTANG MEMPELAJARI RUH

Berawal dari QS. Al-Isro ayat 85
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُم مِّن الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً
"Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah wahai muhammad bahwa ruh itu urusan Tuhanku, dan tidaklah kuberikan ilmu kepada kalian kecuali sedikit."
Ayat ini yang sesungguhnya memiliki satu substansi, namun sering dipenggal oleh sebagian orang sehingga menjadi dua substansi.  Sepenggal ayat yaitu
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي
"Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah wahai muhammad bahwa ruh itu urusan Tuhanku."
Penggalan ayat diatas sering dijadikan dalil bahwa ruh jangan dipelajari. 
Sedangkan penggalan ayat yang lainnya yaitu:
وَمَا أُوتِيتُم مِّن الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً
"Dan tidaklah kuberikan ilmu kepada kalian kecuali sedikit."
Ayat ini sering dijadikan dalil untuk menutupi kekurangan pengetahuan. 
Dampaknya sangat signifikan terhadap kemunduran umat islam, diantaranya;
1.      Umat islam; jangankan mengolah ruh, mempelajarinya saja tidak berani. Padahal menurut imam al Ghazali dalam kitabnya Ihya-u 'Ulumiddin, ruh itu semakna dengan qalbu yaitu dimensi ketuhanan dalam diri manusia, merupakan pusat kontrol manusia itu sendiri. Apabila ruhnya baik maka baik pula tingkah lakunya, dan apabila ruhnya rusak, maka rusak pula tingkah lakunya. Contoh 
"Subuh banyakan yang sholat dirumah apa dimasjid?"."Di rumah !"
"Yang sakit badannya apa ruhnya?" ."Ruhnya !"
Orang yang malas, baik malas dalam beribadah ataupun bekerja, yang sakit itu bukan badannya tapi ruhnya dan banyak lagi dampak negatif yang disebabkan sakitnya ruh.
2.      Umat islam banyak yang merasa cukup dengan ilmu yang sudah dimiliki, tidak mau meningkatkan kemampuan. Bahkan ada yang sampai putus asa karena dicekoki dengan pemahaman wamaa uutiitum minal ilmi illa qolilla, "Manusia itu ilmunya sedikit".
Padahal kalau dikaji menggunakan ilmu nahwu dan balaghoh yang benar, ayat tersebut tidaklah bermaksud seperti yang disebutkan di atas. Berikut terjemahan pangersa uwa, KH. Zezen ZA Bazul Asyhab terhadap ayat tersebut:
"Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh, maka katakanlah bahwa ruh itu urusan Tuhanku DAN BENAR-BENAR TELAH KUBERIKAN ILMU TENTANG RUH KEPADA KALIAN SEMUA DALAM KADAR SEDIKIT".
Mengapa pangersa uwa menterjemahkannya seperti demikian? Berikut uraian beliau :
1 - وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُم مِّن الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيل
Antara penggalan ayat pertama dan kedua dihubungkan dengan "wau" ( و) yang menurut ilmu nahwu merupakan haraf athaf bermakna muthlaqul jam'i artinya kedua penggalan ayat tsb memiliki kesatuan substansi. Jangan ada pemisahan substansi.

وَمَا أُوتِيتُم مِّن الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً
"Maa" (ما) yang ada pada kalam diatas adalah maa nafi, yang kemudian diikuti oleh istisna (lafadz illa), dalam ilmu balaghah susunan seperti itu disebut qoshor/takhshis (membatasi/ mengkhususkan). Dalam jauhar al maknun syekh abdurrohman al akhdhori menyebutkan :
وادوات القصر الا انما # عطف وتقديم كما تقدما
Karena susunan ayat tadi termasuk qoshor/takhsis, maka pangersa uwa menterjemahkannya dengan "DAN BENAR-BENAR TELAH KUBERIKAN".
مِّن الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً
Kemudian lafadz "ilmu" pada ayat diatas menggunakan alif lam. Dalam qowaidul irob alif lam fungsinya banyak, diantaranya lil 'ahdidzdzihni, artinya menyimpan makna mengenai suatu hal yang sudah disebut sebelumnya. Maka ilmu yang dimaksud pada ayat tersebut adalah ilmu tentang ruh, karena sebelumnya membicarakan tentang ruh.
Berdasarkan penelaahan di atas, maka lahirlah terjemah surat al isro ayat 85 menjadi
"Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh, maka katakanlah bahwa ruh itu urusan Tuhanku DAN BENAR-BENAR TELAH KUBERIKAN ILMU TENTANG RUH KEPADA KALIAN SEMUA DALAM KADAR SEDIKIT".
Apabila terjemahannya demikian, maka informasi yang kita terimapun berubah. Bukan kita 'tidak boleh' mempelajari ruh, tapi justru 'harus'. Disebutkan ilmu tentang ruh yang Alloh berikan sedikit, itu menurut ukuran Alloh. Sedikit menurut Alloh adalah maha banyak dalam ukuran manusia. 
Ibaratnya kita memancing dikolam lalu dapat ikan mas sebesar paha orang dewasa, tentu kita mengatakan itu ikan yang sangat besar. Namun kalau kita mancing ikan dilautan ,tentulah ikan sebesar paha itu jadi kecil. Karena dilautan yang luas, kita bisa menemukan ikan yang lebih besar seperti hiu dan paus.
Tuan Syekh Abdul Qodir Al-Jailany qs adalah seorang ahli ilmu, hafidzul Quran, beliau hafal al Quran pada usia 10 tahun. Selama hidupnya beliau menyusun puluhan kitab, di bidang tasawuf, fiqih, tauhid, tafsir dan lain-lain. Kalau membicarakan Syekh Abdul Qodir, jangan hanya disebutkan karomatnya saja, kesaktiannya saja, karena itu akan membentuk opini masyarakat terhadap Syekh Abdul Qodir sebagai seorang pendekar, manusia sakti. Kita harus sampaikan juga kecerdasan beliau dalam bidang lain. 
Pantaslah dalam kitabnya sirrul asror, sebelum membahas yang lain beliau mendahulukan membahas ruh. 
Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa ruh ada 4 lapis, yang dituangkan dalam sebuah nadzom/sya'ir sederhana oleh pangersa uwa:
Alam mulki, malakut, jabarut, lahut
Jasad, qolbu, fuad, sirri olah tungtut
Ruh jismani, nuroni, sulthoni, qudsi
Urang terus berjuang nembuskeun diri
(Alam mulki, malakut, jabarut, lahut
Jasad, qolbu, fuad, sirri olah runtut
Ruh jismani, nuroni, sulthoni, qudsi
Kita terus berjuang tembuskan diri)


Download Button

MOHAMMAD ARSIN: PENGAJIAN HIKAM

MOHAMMAD ARSIN: PENGAJIAN HIKAM: PENGAJIAN KITAB HIKAM ( SYEKH IBNU ATHOILLAH AS-SAKANDARI ) OLEH : KH. ZEZEN ZAENAL ABIDIN BAZUL ASYHAB
HIKMAH KE 6,32,33,39,40,42,45,47,48,58,60,61,62,70,71,72,87,93,104,139,175,219
silahkan di Unduh di sini
Download Button

PENGAJIAN HIKAM

PENGAJIAN KITAB HIKAM
( SYEKH IBNU ATHOILLAH AS-SAKANDARI )
OLEH : KH. ZEZEN ZAENAL ABIDIN BAZUL ASYHAB
Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Azzainiyyah
Kp. Nagrog-Perbawati-Selabintana- Suka Bumi
( HIKMAH KE : 6,32,33,39,40,42,45,47,48,58,60,61,62,70,71,72,87,93,104,139,175,219 )
 











"TUJUAN NGAJI AL HIKAM"
Karena ada beberapa ikhwan/akhwat yang merasa belum percaya diri atau salah arah (tujuan) dalam belajar al Hikam, maka kami angkat uraian pangersa uwa seputar tujuan dan manfaat kajian al Hikam. semoga bermanfaat :
Apa sih tujuannya ngaji al hikam?
Tujuan ngaji al hikam, bukan ingin disebut kyai hebat tapi INGIN BELAJAR IBADAH, karena ternyata ibadah itu sulit. Kita ambil contoh, salah satunya sholat. Kalau sekedar bacaaan dan gerakan dalam sholat tidak terlalu sulit, yang sulit itu awal waktunya, berjamahnya, khusyu nya, istiqomah awal waktu dan berjamaah di mesjid, ayoo siapa yang bilang mudah?
selama kurang lebih 700 tahun islam di Indonesia, dalam bidang ibadah negeri ini belum berhasil. Kabupaten sukabumi saja jumlah masjid jami’nya sekitar 5020, apabila mencari mesjid yang berjamaah subuhnya seperti sholat jum’at, sulit sekali. Melihat kondisi ini siapa yang berani nepuk dada, aku ilmuwan hebat, aku kyai hebat. Kalau dalam ranah pengetahuan mungkin iya, dalam hal orasi, ceramah mungkin oke, tapi dalam pengamalannya lemah, buktinya indonesia subur tapi belum makmur, kaya tapi masih sengsara, penyebab utamanya lemah taqwa. Kenapa lemah taqwa?, karena kalah oleh nafsu, kalah oleh setan. Nah ngaji hikam itu mengkaji kunci-kunci, teknis melawan nafsu dan setan. Jadi jangan mnganggap kitab al hikam hanya untuk para wali atau ulama khos saja.
Al Hikam itu kitab kumpulan hikmah-hikmah (hikmah adalah pengetahuan yang mendalam tentang sesuatu) yang disusun oleh syekh ibn ‘Athoillah Assakandari, yang merupakan pengalaman beliau didalam mengolah diri. Kemudian dibaca, difahami dan diamalkan oleh jutaan umat islam didunia dari dulu sampai sekarang, ternyata berhasil.
Persepsi “hikam kitab anti dunia”, mengajak manusia hidup miskin, menyebabkan islam mundur, harus kita perbaiki. Benarkah itu pak Zezen? Ya benar, memang ada dari kelompok kami, ulama, yang kalau ngaji hikam itu pembahasannya jadi anti dunia, menjelek-jelekkan kekayaan. Padahal saya baca dari hikmah nomor 1 – 295 tidak ada hikmah yang menjelekkan dunia, jadi bukan kitabnya (pengarangnya) yang menjelekkan, tapi ustadz yang membahasnya, mungkin karena kesal kepada orang kaya yang tidak suka memberi kepadanya.
Katanya hikam itu kitab yang sangat sulit difahami?
Kata siapa? Bukankah tadi sudah disebutkan bahwa hikam adalah pengalaman yang lahir dari pengamalan seorang manusia yakni syekh ibnu athoillah, apakah kita ini manusia? Kalau pekerjaan/pengamalan malaikat dikejar oleh kita tentu akan sulit. Al hikam jangan dipersulit.
Penyebab munculnya anggapan hikam sulit adalah BOMAS (Bodo, Malas, Sombong). Bodoh bukan tak punya ilmu samasekali, tapi kurang ilmu. Jika begitu, siapa yang mengaku pintar? Toh kita serba kekurangan ilmu. Kedua malas; malas mempelajari, memahami dan mengamalkan. Ketika mendapatkan kesulitan, langsung menyerah. Ketiga sombong, tidak mau mencari guru, tidak mau mengakui kelebihan orang lain. Maunya kita diatas orang lain terus, "hayang jadi pang amangna wae". Buang sifat-sifat seperti itu. Islam tidak akan maju kalau umatnya digerogoti sifat-sifat tadi.
Hikmah-hikmah dalam kitab al hikam ini ibarat kunci satu peti, seseorang yang mau membengkel mobilnya/ motornya, punya satu peti kunci, mau buka baut 12, ambil kunci 12, membuka baut 10, ambil kunci 10 dst. seperti itu pula Implementasi al hikam dalam kehidupan, ketika menghadapi masalah begini, pakai hikmah nomor sekian, masalah yang ini, hadapi dengan hikmah ke sekian. Karena itu kajian kitab al hikam ini bukan hanya untuk ulama, tapi untuk semua; kyai, santri, petani, pedagang, seniman, dosen, pelajar, pekerja pabrik, semuanya yang merasa manusia, silahkan !. Karena yang namanya manusia pasti akan menghadapi masalah, dan hikam ini kunci-kunci menghadapi masalah.
“Saya kan tidak bisa baca kitab gundul kyai !”. “Pakai yang gondrong !”
“Saya tidak bisa baca tulisan arab kyai !”. “pakai yang terjemahan !”
“Saya tidak bisa baca kyai !”. “Mendengarkan saja !”.
Bisa jadi yang tidak pakai kitab lebih cepat faham dan mengamalkan dari pada yang pakai kitab oleh karena itu pangersa uwa mengangkat tema kajian al hikam : “Pemahaman dan pengamalan kitab Al hikam secara benar dan sungguh-sungguh adalah kunci untuk mencapai sukses disegala bidang kehidupan, sekurang-kurangnya di bidang
“IBAHAT MANDIMI LAKDATIK”
Iman, iBAdah, keseHATan, keaMANan, penDIdikan, perekonoMIan, akhLAK, kebuDAyaan, dan poliTIK

BENARKAH MEMPELAJARI TASAWUF
DAN MENGAMALKAN TAREKAT ITU
HARUS SUDAH BERUMUR 40 TAHUN ???
ATAU HARUS SUDAH MENGUASAI BERBAGAI ILMU ??? 

Pertanyaan di atas beberapa kali ditanyakan oleh sebagian ikhwan di fanspage ini, dan mungkin mewakili ikhwan lainnya. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita awali dengan sebuah hadits yang disepakati keshohihannya oleh berbagai golongan, yaitu:
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ : صَدَقْتَ، فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ، قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ . قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا، قَالَ أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ، ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ : يَا عُمَرَ أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلِ ؟ قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمَ . قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتـَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ . رواه مسلم
Dari sayyid Umar radhiallahuanhu, dia berkata : Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) seraya berkata: “ Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?”, maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam : “ Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu “, kemudian dia berkata: “ anda benar “. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “ Beritahukan aku tentang Iman “. Lalu beliau bersabda: “ Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk “, kemudian dia berkata: “ anda benar“. Kemudian dia berkata lagi: “ Beritahukan aku tentang ihsan “. Lalu beliau bersabda: “ Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau” . Kemudian dia berkata: “ Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “ Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya “. Dia berkata: “ Beritahukan aku tentang tanda-tandanya “, beliau bersabda: “ Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya “, kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya: “ Tahukah engkau siapa yang bertanya ?”. aku berkata: “ Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui “. Beliau bersabda: “ Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian “. (HR. Imam Muslim)
Hadits tersebut menurut pangersa Uwa layak kita sebut sebagai "Ummul hadits" (induknya hadits) karena intisari kandungan semua hadits-hadits baginda Nabi ada didalamnya. Seperti halnya surat Alfatihah dikenal sebagai Ummul Quran (induknya al-Quran) karena semua kandungan ayat al-Quran terdapat didalam surat Alfatihah.
Dari hadits tersebut di atas, para ulama mengambil kesimpulan bahwa rukun AGAMA islam ada 3, yaitu :
1.      Rukun islam ; syahadat, sholat, zakat, puasa, dan naik haji.
2.      Rukun iman ; iman kepada Alloh, malaikat, rosul-rosul Alloh, kitab-kitab Alloh, hari akhir dan beriman terhadap Qodo Qodar Alloh.
3.      Ihsan adalah kita beribadah kepada Alloh seakan-akan dapat melihat-Nya, jika kita tidak dapat melihat Alloh, maka sesungguhnya Alloh melihat kita. Atau pengertian Ihsan yang sudah disederhanakan oleh pangersa uwa adalah :
"Badan kontak dengan makhluk, qalbu tembus kepada Alloh"
Ilmu yang mempelajari rukun iman disebut dengan ilmu tauhid. Para ulama tauhid mengalami perbedaan-perbedaan pendapat seputar pembahasan rukun iman tersebut, maka lahirlah firqoh-firqoh. Seperti asy'ariyah, al maturidiyah, jabbariyah, qodariyah dll.
Ilmu yang mempelajari rukun islam dikenal dengan ilmu fiqih. Perbedaan-perbedaan pendapat didalamnya melahirkan madzhab-madzhab diantaranya yang paling populer adalah madzhab maliki, hanafi, syafi'i dan hambali.
Sedangkan ilmu yang mempelajari ihsan dikenal sebagai ilmu tasawuf. Dan perbedaan cara dan pemahaman didalamnya melahirkan thoriqoh-thoriqoh. Seperti thoriqoh Qodiriyyah, naqsyabandiyyah, syadziliyyah, rifa'iyyah, qodiriyyah wannaqsyabandiyyah serta banyak thoriqoh lainnya.
Karena yang dipelajari oleh ketiga ilmu tersebut adalah rukun-rukun agama, maka para ulama sepakat bahwa mempelajari dan mengamalkan ketiganya (ilmu fiqih, tauhid dan tasawuf) hukumnya adalah fardhu 'ain yaitu merupakan sebuah kewajiban yang diperuntukkan bagi setiap muslim yang sudah baligh dan berakal.
Dengan begitu, kesimpulan sementara adalah : mempelajari tasawuf itu wajib bagi muslim dari mulai ia baligh, dan selama ia berakal.




HIKMAH KE 6
MENGAPA ALLOH BELUM MEMBERI
APA YANG KITA PINTA DALAM DO'A
Diantara rintangan- rintangan salik (orang yang sedang belajar memperbaiki diri) yang dapat menghambatnya dalam melakukan perjalanan menuju Alloh adalah berburuk sangka kepada Alloh dan putus asa dari RahmatNya.
Terkadang kedua hal tsb datang kepada salik ketika ia mempunyai keinginan-keinginan, kemudian berdo'a, namun apa yg ia pinta dalam do'a tak kunjung dipenuhi oleh Alloh, bahkan setelah ia mengulang-ulang doanya tsb.
Dalam menghadapi rintangan spt ini, syekh ibn atho'illah memberi nasihat agar kita bisa berhasil melewatinya, yang tertulis dalam kitab al hikam sbb :
ﻻيكن تأخر امدا العطاء مع الإلحاح فى الدعآء موجبا ليأسك فهو ضمن لك الإجابة فيما يختاره لك ﻻ فيما تختار لنفسك وفى الوقت الذي يريد ﻻ فى الوقت الذي تريد
"Lambatnya pemberian Alloh atas apa yang kamu pinta padahal kamu berulang kali berdo'a kepada-Nya jangan menjadi sebab kamu putus asa. Karena Alloh pasti mengijabah do'amu, namun dalam bentuk pemberian pilihan Alloh untukmu, bukan dalam bentuk permintaan yg kamu pilih/pinta. Serta pada waktu yang Alloh kehendaki, bukan pada waktu yang kamu kehendaki"
Untuk mempermudah memahami hikmah di atas, guru kita pangersa uwa (KH. Zezen ZA bazul asyhab) memberikan sebuah ilustrasi.
Jika ada seorang anak yang baru berumur 7 tahun minta dibelikan sepeda motor honda tiger kepada bapaknya, padahal anak itu naik sepeda saja blum bisa. Apakah bapaknya akan memenuhi keinginan anaknya begitu saja?
Ternyata Dengan ke'arifan dan kebaikannya, sang bapak memberi anaknya sepeda roda 3, bukan motor tiger seperti yang didambakan sang anak.
Dalam hal ini bapak "mengijabah do'a" anaknya dengan memberi apa yang mnurut dia pantas dan baik untuk anaknya, bukan sesuai pilihan dan keinginan anak. Sebab apabila anak tersebut diberi motor tiger, tentulah tidak akan bermanfaat dan bahkan akan menyebabkan celaka bagi anaknya.
Ketika anak itu berumur 20 tahun, setelah diperhatikan kemampuan dan kebutuhannya terhadap sepeda motor, barulah bapaknya memberikan honda tiger seperti yang diharapkan anak. Disini sang bapak mengabulkan permintaan anak pada waktu yang sesuai dengan kehendaknya, bukan kehendak anaknya. Semua itu semata-mata karena pengetahuan dan kasih sayang seorang bapak kepada seorang anak. Begitu juga Alloh kepada hamba-Nya.
Dari itu janganlah berburuk sangka dan putus asa ketika keinginan kita belum tercapai setelah seringnya berdoa.Teruslah berdoa, semata-mata melaksanakan perintah Alloh, bukan untuk mengatur-Nya.
الدعاء هو العبادة قال ربكم ادعوني أستجب لكم (رواه ابو دود(
"Do'a adalah ibadah, Tuhan kalian telah berfirman "bero'alah kalian semua kepada-Ku maka Aku akan mengijabahnya bagi kalian" (HR abu dawud)
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian; dan boleh jadi (pula) kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Alloh maha mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui (Qs. al baqoroh 216)
HIKMAH 32
BERTAREKAT UNTUK MEMPERBAIKI DIRI

تَشَوُّفُكَ إِلَى مَا بَطَنَ فِيْكَ مِنَ الْعُيُوْبِ خَيْرٌ لَكَ مِنْ تَشَوُّفِكَ إِلَى مَا حُجِبَ عَنْكَ مِنَ الْغُيُوْبِ

“Perhatianmu terhadap aib/kekurangan yang ada pada diri sendiri, lebih baik dari pada perhatianmu terhadap terbukanya hal-hal gaib”.
Banyak orang salah jalan dalam bersuluk, mengamalkan tarekat, yaitu ia menunggu-nunggu ingin mendapatkan mughoyyabat (hal-hal gaib) seperti bisa mengetahui yang akan terjadi. Mau mendapatkan yang aneh-aneh; bisa terbang, pergi ke mekah sekejap mata. Mau jadi orang yang luar biasa supaya terkenal dan lain-lain. Bertasawuf dan bertarekat seperti ini keliru.

Sebagian kita kadang punya fikiran "kenapa ya, udah sekian tahun mengamalkan tarekat, tapi kok masih gini-gini aja?"Memangnya anda mau apa? Mau pamer kehebatan, unjuk "kedekatan" dengan Alloh, sehingga bisa ngatur-ngatur Alloh? Semua yang anda mau bisa langsung terwujud? Begitu?Bukan begitu, justru dengan bertarekat mendidik kita agar bisa lebih pasrah dan menerima akan ketentuan-ketentuan Alloh.

Biasa aja seperti inj. Kadang pahit - kadang manis, kadang susah - kadang senang, kadang cukup uang - kadang kekurangan, kadang mengalami pertengkaran dengan istri - kadang harmonis.
Mengamalkan tarekat itu belajar memperbaiki diri, bukan untuk mendapatkan kesaktian atau karomah. Adapun ketika dalam proses memperbaiki diri, lalu Alloh menampakkan keanehan-keanehan atau karomat pada diri kita itu bukan tujuan, bahkan bisa menjadi jebakan. Berhati-hatilah.
Maka, memperhatikan diri, sehingga kita tahu kelemahan-kelemahan diri; lemah iman, lemah ibadah, lemah ketahanan mental, lemah baca al quran, lemah dzikir, lemah dalam tolong menolong, lemah dalam shodaqoh dan kelemahan-kelemahan lain, itu lebih baik daripada kita terus mengejar-ngejar kegaiban, ini kalau tidak dibimbing oleh ahli akan banyak orang mengamalkan tarekat untuk mendapatkan kesaktian atau keanehan lainnya.
Menurut imam al Ghazali r.a, ada 4 cara agar kita mengetahui kelemahan diri;
1. Sering berkumpul dengan guru yang mengetahui dan mengingatkan kita akan kekurangan diri sendiri.
2. Bergaul dengan teman-teman yang mau dan berani menasihati kita, ketika salah.
3. Mengetahui kelemahan dan kekurangan diri dari orang-orang yang membenci kita.
4. Melihat kelemahan yang ada pada orang lain, untuk kemudian menelitinya dalam diri kita.
Ketika bertemu dengan orang kikir, lihatlah kedalam diri sendiri, jangan-jangan kita juga sama. Melihat orang malas ibadah atau bekerja, ingatlah malas itu juga ada pada diri kita, dan seterusnya.

HIKMAH KE  33
~ MELIHAT ALLOH ~

اَلْحَقُّ لَيْسَ بِمَحْجُوْبٍ وَإِنَّمَا الْمَحْجُوْبُ أَنْتَ عَنِ النَّظْرِ إِلَيْهِ إِذْ لَوْحَجَبَهُ شَيْءٌ لَسَتَرَهُ مَاحَجَبَهُ وَلَوْ كَانَ لَهُ سَاتِرٌ لَكَانَ لِوُجُوْدِهِ حَاصِرًا وَكُلُّ حَاصِرٍ لِشَيْءٍ فَهُوَ لَهُ قَاهِرٌ وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ

"Al-Haq (Alloh), tiada terhijab (terhalang) oleh sesuatu apapun. Sesungguhnya yang terhijab adalah pandanganmu dari melihat Alloh. Sebab sekiranya ada sesuatu yang menghijab Alloh, berarti sesuatu itu dapat menutupi Alloh, dan andaikata ada yang dapat menutupi Alloh, berarti wujud Alloh terbatas/dibatasi, dan suatu perkara yang dapat membatasi perkara lain, maka ia berkuasa kepadanya, padahal “Alloh yang berkuasa atas semua hamba-Nya".
Jangan pernah berfikir antara kita dan Alloh itu ada penghalang, kebanyakan kita masih berfikir seperti itu, karena memang mata kita tidak bisa melihat Alloh. Yang tampak adalah benda-benda kasat mata saja seperti gunung, pohon, rumah, mobil, tubuh manusia dan lain-lain. Tuhan bukan benda, bukan sesuatu yang berbentuk, namun di dalam al-Quran (diantaranya QS. Annisa : 126) disebutkan dan harus diyakini serta dirasakan bahwa Alloh memiliki sifat al-Muhith, yaitu Maha Meliputi segala sesuatu.
Sebagai jembatan pemahaman, kita ambil contoh meliputinya air terhadap ikan di lautan, kalau ditanyakan kepada ikan, “ikan, dimana air?”, maka menurut ikan ;
Hareup, tukang, katuhu, kenca # Luhur, handap, luar, jero urang dibulen ku cai
(Depan, belakang, kanan, kiri # atas, bawah, luar, dalam kita dicakup oleh air)
Begitu juga al muhitnya Alloh kepada makhluq, termasuk kita. Maka ;
Hareup, tukang, katuhu, kenca # Luhur, handap, luar, jero urang dibulen ku gusti Alloh
(Depan, belakang, kanan, kiri # atas, bawah, luar, dalam kita dicakup oleh Alloh)
Aqidah yang benar ini, kenapa saya (pangersa Uwa) berani mengatakan bahwa Alloh mencakup semua alam? Disamping karena memang ada dalil al-Qurannya, juga bisa difahami dengan logika; kalau Alloh tidak dikatakan mencakup, berarti Alloh duduk/berdiam di suatu tempat, sedangkan apabila beranggapan bahwa Alloh berada di satu tempat, berarti meyakini bahwa Alloh butuh tempat, sedangkan yang butuh tempat adalah makhluq, bila anda menganggap Alloh butuh tempat, berati anda menyamakan Alloh dengan makhluq. Justru pemahaman seperti ini yang keliru.
Lantas Jika memang Alloh meliputi seluruh makhluq, mana? kok tidak bisa dilihat?
Jangan pernah beranggapan bahwa melihat Alloh itu; muncul cahaya yang menyilaukan, atau tercium wangi yang menyegarkan, terdengar ada suara tanpa raga. Bukan saudaraku. Kalau seperti itu, anda menyamakan Alloh dengan makhluk lagi.Saya buat sebuah ilustrasi : 
Ada seorang laki-laki namanya ujang, punya istri neneng. Neneng istri yang rajin, kalau ada waktu luang tidak dipakai untuk ngerumpi atau hal-hal kurang berguna lainnya, tapi dipakailah menyulam taplak meja. Taqdir Alloh, neneng lebih dulu meninggal dunia.
Ujang begitu mencintai neneng sehingga merasa sangat kehilangan. Ketika ujang melihat taplak yang dibuat neneng, lisannya spontan berucap “mamaahhh” sambil menangis, karena walaupun yang dia lihat taplak, tapi hatinya melihat neneng. Anaknya ujang, yaitu agus, mendengar bapaknya memanggil mamah kepada taplak, beranggapan bapaknya gila, taplak ko dipanggil mamah?Karena agus melihat dengan bashornya (penglihatan mata) sedangkan ujang melihat dengan bashirohnya (mata hati).
Seperti itu pula makna melihat Alloh, mata ini melihat ciptaan Alloh ; manusia, pohon, batu, air, mobil, hape, pisau dsb. Hati tembus melihat Alloh. Jadi makhluq itu jembatan untuk sampai kepadaNya, jangan macet di makhluq. Namun jangan pula terlalu "porno" ketika melihat pohon pisang, berkata "ini Alloh", melihat batu "ini Alloh", melihat mobil "ini Alloh".
Kalau begini, bisa divonis aliran sesat nanti. Ucapan dijaga jangan sampai menimbulkan masalah. Biasa aja seperti ini, jangan ada niat cari sensasi, bicara yang aneh-aneh. Cuma dihatinya : Allohu Alloh.

لااله الا الله لامعبود الا الله
لااله الا الله لامقصود الاالله
لااله الا الله لامطلوب الاالله
لااله الا الله لاموجود الاالله
HIKMAH KE 39
MENGADULAH KEPADA ALLOH

لَاتَرْفَعَنَّ إِلَى غَيْرِهِ حَاجَةً هُوَ مُوْرِدُهَا عَلَيْكَ فَكَيْفَ يَرْفَعُ غَيْرُهُ مَاكَانَ هُوَ لَهُ وَاضِعًا مَنْ لاَ يَسْتَطِيْعُ اَنْ يَرْفَعَ حَاجَةً عَنْ نَفْسِهِ فَكَيْفَ يَسْتَطِيْعُ اَنْ يَكُوْنَ لَهَا عَنْ غَيْرِهِ رَافِعًا

"Janganlah engkau mengadukan kebutuhanmu kepada selain Alloh, karena Alloh-lah yang mendatangkan/mengirim “sifat butuh” itu kepadamu. Maka bagaimana selain Alloh mampu menghilangkan apa yang telah Alloh datangkan. Orang yang tidak kuasa untuk menghilangkan sifat butuh dari dirinya sendiri, maka bagaimana ia kuasa untuk menghilangkan kebutuhan yang ada pada orang lain."
Di dalam Al Quran surat An Nisa ayat 28, disebutkan bahwa Alloh menciptakan manusia dalam keadaan lemah,
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الإنْسَانُ ضَعِيفًا

“Alloh hendak memberikan keringanan kepadamu, karena manusia diciptakan bersifat lemah”
Salah satu tanda lemahnya manusia, ia tidak bisa berdiri sendiri, ia selalu membutuhkan yang lain. Lapar butuh makan, haus butuh minum, sakit butuh kesembuhan dll.
Selama anda menjalani kehidupan, pernahkah anda dililit hutang, cicilan motor sudah habis tempo namun belum dibayar, anak sakit parah harus ke dokter, beras hanya cukup untuk satu kali masak lagi, apa yang anda butuhkan saat itu? Uang bukan?
Dalam kondisi seperti ini atau semisalnya, kebanyakan orang panik, mengeluhkannya kepada hampir semua orang yang ia temui, seakan-akan pengaduannya tersebut dapat menolongnya.
Bukan seperti itu cara menghadapinya, tapi mengadulah kepada Alloh, karena Alloh lah yang mensetting semua keadaan yang mendorong kita membutuhkan hal lain, dan Alloh pula yang meletakkan “sifat butuh” itu di dalam diri kita. Jika Alloh yang mengirim sifat butuh itu kedalam diri kita, maka hanya Alloh pula yang bisa menghilangkannya (dengan memenuhi kebutuhan tersebut), bukan pihak lain. Orang lain juga sama punya kebutuhan dan masalah masing-masing.
Setelah kita mengadukannya kepada Alloh, boleh jadi Dia memberi kita semangat bekerja sebagai perantara uang yang kita butuhkan, jangan ingin instan mendapatkan uang dengan mudah, bekerjalah yang benar. Atau bahkan mungkin Alloh menggerakkan hati hambaNya yang punya kelebihan harta untuk shodaqoh, dan Alloh taqdirkan kitalah yang menerimanya. Tidak apa-apa terima saja, yang jelek dan membuat cape itu mengejar-ngejar, minta-minta kepada manusia.
Namun tidak pula hikmah ke 39 ini melarang kita untuk meminta bantuan kepada sesama manusia sebagai perantara pertolongan Alloh, silahkan meminta bantuan, sebagai bentuk usaha kita selaku manusia. karena itu sudah sunnatulloh (aturan Alloh). Tapi qalbu tetap bergantung kepada Alloh.
Mengenai hal ini, syekh Abdul Qodir al Jailani dalam kitab fathurrobbani memberikan nasihat sebagai berikut:
المؤمن يستر حزنه ببشره ظاهره يتحرك فى الكسب وباطنه ساكن إلى ربه عز وجل ظاهره لعياله وباطنه لربه عز وجل لا يفشى سره إلى أهله وولده وجاره وجارته ولا إلى أحد من خلق ربه يسمع قول النبي صلى الله عليه وسلم إستعينوا على اموركم بالكتمان

“Orang beriman itu menutupi kesusahannya dengan kegembiraannya. LAHIRNYA bergerak untuk berusaha, sedangkan BATHINNYA tenang bersama Tuhannya, lahirnya untuk keluarganya dan bathinnya untuk Tuhannya. Ia tidak menyiarkan rahasianya kepada keluarganya, anaknya, tetangganya, dan tidak seorangpun dari makhluk Tuhannya. Ia mendengar sabda baginda Nabi SAW : “mohon pertolonganlah atas urusan-urusan kamu sekalian dengan menyembunyikannya”

HIKMAH KE 40
HUSNUDZON (BERBAIK SANGKA) KEPADA ALLOH

إِنْ لَمْ تُحَسِّنْ ظَنَّكَ بِهِ لِأَجْلِ جَمِيْلِ وَصْفِهِ حَسِّنْ ظَنَّكَ بِهِ لِوُجُوْدِ مُعَامَلَتِهِ مَعَكَ فَهَلْ عَوَّدَكَ إِلَّاحَسَنًا وَهَلْ أَسْدَى إِلَيْكَ إِلَّا مِنَنًا

“Jika kamu belum mampu berbaik sangka kepada Alloh karena baiknya sifat Alloh, maka berbaik sangkalah kepada-Nya karena mu’amalahNya bersamamu. Sebab tidaklah ia mendatangkan suatu perkara kepadamu kecuali merupakan kebaikan, dan tidaklah Dia meluaskan kepadamu kecuali terhadap karuniaNya"
Dalam menjalani kehidupan, harus diyakini dan disadari bahwa apapun yang terjadi kepada kita adalah af’aalulloh (perbuatan Alloh). Yang enak atau tidak enak, manis atau pahit, maka kita wajib berhusnudzzon (baik sangka) bahwa itu semua baik menurut Alloh bagi kita.
Pernahkah anda hilang uang, badan sakit, istri melirik laki-laki lain, suami selingkuh, usaha rugi atau hal-hal menyakitkan lainnya? Sadari bahwa semua itu baik menurut Alloh bagi kita
Munculnya menggerutu, marah-marah, mengeluh, penyesalan yang berlebih bahkan menyalahkan orang lain atau taqdir atas kepahitan yang kita alami itu karena hilangnya kesadaran bahwa yg terjadi adalah af’alulloh dan tidak ada husnudzon kepada Alloh
Dalam hikmah ke 40 di atas, syekh ibn ‘Athoillah membantu kita untuk belajar berhusnudzon kepada Alloh. Beliau membaginya menjadi 2 tahap

1. Husnudzon karena bagusnya/baiknya sifat-sifat Alloh
2. Husnudzon karena muamalah (perlakuan) Alloh kpda kita

Ketika anda mengalami hal-hal pahit dalam hidup, ingatlah bahwa dari semua sifat-sifat Alloh, tidak ada sifat Alloh adzzolim (yang berbuat aniaya kepada hambanya)

ذَلِكَ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيكُمْ وَأَنَّ اللَّهَ لَيْسَ بِظَلامٍ لِلْعَبِيدِ
Demikian itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak menganiaya hamba-Nya (Q.S al Anfal : 51)
Bagi salik ketika mendapatkan yang pahit, cepat-cepatlah masuk kedalam dzikir, ambil wudhu, sholat 2 rokaat, kemudian dzikir laailahaillalloh, mengadulah kepadaNya
“Alhamdulillah, ya Alloh terimakasih, engkau telah memberikan cobaan ini, aku yakin engkau maha tahu akan apa yang baik buat saya, termasuk apa yang sedang saya alami, ini kebaikanmu ya Alloh”
Walaupun sakit, perih yang dirasakan, usahakanlah berucap seperti itu. Nanti manusiawinya sedikit demi sedikit menurun, yang ada husnudzonnya kpd Alloh,nantinya anda tidak akan jadi manusia penggurutu
Apabila kita tidak bisa husnudzzon karena belum bisa memahami dan merasakan kebaikan Alloh dalam kepahitan yang sedang dialami, maka berhusnudzonlah kepada Alloh dengan mengingat muamalah (perlakuan) Alloh kepada kita selama ini, diantaranya;

Alloh membuat kita "ada" padahal sebelumnya tidak ada, Alloh menjadikan kita manusia, padahal bisa saja Dia menjadikan kita ayam yang akan disembelih, babi yang diburu manusia, rumput yang diinjak-injak atau dimakan hewan. 

Kemudian Dia juga yang mentaqdirkan kita memeluk agama islam, di indonesia pula, bukan di rohingya, palestina, irak, libiya yang setiap waktu ketakutan bahkan dibantai dan diporakporandakan musuh-musuh islam, Dia yang memberi kita mata dengan kemampuan melihatnya, telinga dengan mendengarnya, hidung dengan penciumannya, lidah dengan rasa dan ucapnya, kulit dengan daya rabanya.
Sakit baru 3 hari disebut-sebut, dikeluhkan, padahal sehat bertahun-tahun dilupakan. Motor hilang, memaki taqdir, padahal nikmat dua kaki dari Alloh selama ini lebih berharga. Betapa jarang bahkan nyaris tidak pernah kita berterimakasih kepada Alloh atas segala nikmatNya itu. Yang dikeluhkan dalam doa cuma kesulitan dan susah saja, padahal karuniaNya lebih banyak.
Oleh karena itu marilah kita belajar lebih beradab dihadapan Alloh dengan senantiasa berusaha berbaik sangka atas segala perlakuanNya kepada kita

HIKMAH ke 42
“JANGAN MENJADI MANUSIA KOMEDI PUTAR (KORSEL)”

لاَتَرْحَلْ مِنْ كَوْنٍ إِلى كَوْنٍ فَتَكُوْنَ كَحِمَارِ الرَّحَى َيسِيْرُ وَالْمَكَانُ الَّذِيْ اِرْتَحَلَ إِلَيْهِ هُوَ الَّذِيْ اِرْتَحَلَ عَنْهُ وَلَكِنِ ارْحَلْ مِنَ اْلأَكْوَانِ إِلَى الْمُكَوِّنِ (وَاِنَّ إِلَى رَبِّكَ الْمُنْتَهَى) وَانْظُرْ إِلَى قَوْلِهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى الدُّنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَاهَاجَرَ إِلَيْهِ) فَافْهَمْ قَوْلَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَاهَاجَرَ إِلَيْهِ وَتَدَبَّرْ هَذَا الْأَمْرَ إِنْ كُنْتَ ذَا فَهْمٍ

“Janganlah kamu berpindah/beraktifitas dari “al kaun” menuju “al kaun”, karena jika tidak, maka kamu akan seperti keledai penggilingan yang terus berjalan, sedangkan tempat ia berangkat adalah tempat ia kembali. Sebaliknya beraktifitaslah dari “al kaun” kepada “al mukawwin”, (dan kepada Tuhanmulah tempat kesudahan/bermuara segalanya)”
Al kaun adalah makhluq yakni segala sesuatu selain Alloh, sedangkan al mukawwin adalah al kholiq (Alloh)
Apakah anda tahu penggilingan gandum dengan mnggunakan tenaga himar/keledai? Mungkin sebagian orang tahu, tapi kebanyakan tidak tahu bagaimana bentuk dan cara kerja keledai penggilingan, karena memang di negara kita kurang dikenal. Yang lebih familiar bagi kita dan memiliki substansi yang sama apabila dikaitkan dengan hikmah ke 42 di atas adalah seperti komedi putar (korsel).
Apabila kita naik komedi putar, kita akan mengalami keadaan “naik dari satu tempat kemudian turunnya juga masih di tempat yang sama,” naik dari sana, turunpun di sana (tempat naik semula), baik anda membayar 10 ribu, 50 ribu, 100 ribu atau bahkan sekalian anda beli komedi putarnya, tetap saja, anda akan naik dari sana, turun di sana. Tidak kemana-mana.
Syekh ibnu ‘Athoillah menjadikan keledai penggilingan atau komedi putar sebagai perumpaan bagi kehidupan kebanyakan manusia yang aktifitasnya tidak tembus kepada Alloh, yaitu “arrihlah minal kaun ilal kaun”, seluruh putaran hidupnya dari makhluk untuk makhluk tidak ada yang untuk Alloh.
“Pak mau kemana?”. “Kerja !.”
“Untuk apa bekerja?”. “Supaya dapat uang !”
“Untuk apa uang?”. “Untuk beli beras !”.
“Beras untuk apa?”. “untuk dimasak kemudian dimakan !”.
“Terus Kalau sudah makan bagaimana?”. “bisa tidur nyenyak !”.
“Kalau sudah tidur nyenyak?”. “badan segar dan bertenaga !”
“Kalau sudah bertenaga?”. “Kuat untuk Kerja !”
“Untuk apa kerja?”. “Supaya dapat uang !” .
Lihatlah, ujungnya kembali kepada kerja dan uang !
Seperti itulah pola kehidupan manusia komedi putar, berawal dari kerja untuk cari uang dan berakhir dalam kerja untuk cari uang pula, tidak ada satupun aktifitasnya yang tembus untuk Alloh. Apabila dalam main bola, bolanya dikocek terus, dari satu pemain ke pemain lain, tidak menghasilkan GOL.
Janganlah kita menjadi tipe manusia komedi putar !
Adapun pola kehidupan yang menghasilkan GOL, yang tembus kepada Alloh bisa kita umpamakan sekurang-kurangnya seperti ini :
“Pak mau kemana?”. “bekerja, sebagai bentuk ibadah kepada Alloh, semoga dengan bekerja Alloh memberi saya rizki berupa uang !.”
“Untuk apa uang?”. “Untuk beli beras !”.
“Beras untuk apa?”. “untuk dimasak kemudian dimakan !”.
“Terus Kalau sudah makan bagaimana?”. “bisa tidur nyenyak !”.
“Kalau sudah tidur nyenyak?”. “badan segar dan bertenaga !”
“Kalau sudah bertenaga?”. “ada kekuatan untuk beribadah, salah satunya bekerja”.
Ketika makan atau tidur, tujuannya/niyatnya supaya kuat beribadah, maka makan dan tidurnyapun terbawa menjadi ibadah. Prinsipnya, segala sesuatu yang menjadi sebab, penunjang terhadap terlaksananya ibadah, terbawa menjadi ibadah pula (Selama penunjang-penunjang tersebut tidak dilarang syara’)
Selanjutnya syekh ibn ‘athoillah mengutip sebuah hadits baginda Nabi SAW yang menggambarkan kedua tipe manusia di atas

فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى الدُّنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَاهَاجَرَ إِلَيْهِ

Hijrah itu jangan Cuma diartikan sebagai perpindahan dari satu daerah ke daerah lain saja. Hijrah dalam hadits ini bisa diartikan sebagai sebuah aktifitas, maka terjemah haditsnya akan seperti ini ; “barang siapa yang beraktifitas kepada/untuk Alloh dan RosulNya, maka aktifitasnya akan sampai kepada Alloh dan RosulNya, barangsiapa yang beraktifitas untuk mendapatkan hal-hal duniawi, maka ia akan mendapatkannya atau ingin perempuan, ia akan menikahinya. Maka aktifitas seseorang akan sampai kepada yang menjadi tujuan aktifitas tersebut.

HIKMAH KE 45
AMAL KECIL DAN ZUHUD

مَاقَلَّ عَمَلٌ بَرَزَ مِنْ قَلْبٍ زَاهِدٍ وَلاَكَثُرَ عَمَلٌ بَرَزَ مِنْ قَلْبٍ رَاغِبٍ

Tidak akan sedikit, amalan yang lahir dari qolbu yang zuhud, dan tidak akan banyak, amalan yang lahir dari qolbu yang roghib
Zaahid adalah orang yang zuhud yaitu yang menjaga qalbunya dari cinta dunia. Ketika dalam qolbu ada cinta terhadap dunia maka ini yang akan mendorong kepada beramal ingin imbalan, dipuji dan dihormati manusia, saat itu rusaklah keihklasan dalam beramal. Sedangkan roghib adalah orang yang di dalam qolbunya ada cinta terhadap dunia.
Dalam pandangan manusia, kebaikan ada yang dianggap kecil ada yang dianggap besar
Contoh yang dianggap kecil ; memberi makan kucing, senyum ketika bertemu orang, membaca basmallah saat hendak makan dan lain sebagainya.

Contoh yang dianggap besar ; memberi makan 2000 orang, shaum beberapa tahun, tahajud tiap malam dll
.Jangan anggap remeh ibadah/kebaikan sekecil apapun. Karena kebaikan yang dilakukan oleh orang yang qolbunya zuhud walaupun tampak kecil dalam pandangan manusia, tetap punya nilai besar dihadapan Alloh. Karena qolbu yang zuhud mendorong untuk ikhlas, sebagaimana diketahui ikhlas merupakan kunci diterimanya sebuah amalan. Contoh mau makan basmallah dulu, keliatannya amalan ini kecil, namun akan memiliki nilai besar disisi Alloh. Sebaliknya amalan yang dilakukan oleh orang yang qolbunya roghib, tidak akan punya nilai tinggi dihadapan Alloh, walaupun amalannya tampak besar dihadapan manusia, seperti jihad mengangkat senjata, shodaqoh dengan jumlah besar dan lain sebagainya
Sayyid ibnu mas’ud r.a pernah berkata :
رَكْعَتَانِ مِنْ عَالِمٍ زَاهِدٍ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ تَعَالَى مِنْ عِبَادَةِ الْمُتَعَبِّدِيْنَ الرَّاغِبِيْنَ أَبَدًا سَرْمَدًا
Dua roka’at dari seorang yang berilmu yang zuhud lebih baik dan lebih dicintai Alloh dibandingkan ibadahnya ahli-ahli ibadah yang senang dunia seumur hidupnya
Sebagian orang masih memahami Zuhud dengan harus miskin; rumah jelek, baju lusuh, makan nasi tanpa lauk atau Cuma makan daun-daunan. Ini pemahaman yang keliru. Zuhud bukan soal punya atau tidak punya, tapi lebih melihat kepada penggunaan. Ketika seseorang punya harta yang banyak, kemudian disyukuri dan digunakan untuk beribadah, berjuang menegakkan agama Alloh, maka zuhudlah ia. Sebaliknya orang yang miskin harta, namun harta yang ada (walau sekecil apapun) tidak disyukuri dan tidak dipakai beribadah, maka ia tidak tergolong zuhud walaupun miskin
Dalam sebuah hadits disebutkan, bahwa ada 10 sahabat yang dijamin masuk surga, yaitu ;
1. Sayyid Abu bakar as Shiddiq
2. Sayyid Umar ibn Khottob
3. Sayyid Utsman ibn Affan
4. Sayyid Ali Ibn Abi tholib
5. Sayyid Tholhah ibn Abdulloh
6. Sayyid Zubair ibn Awwam
7. Sayyid Sa’ad ibn abi waqosh
8. Sayyid sa’id ibn zaid
9. Sayyid Abdurrohman ibn Auf
10. Sayyid Abi Ubaidillah ibn Jarroh
Dari 10 orang tersebut di atas, kebanyakan orang kaya. Diantaranya bisa kita lihat dari sejarah, menurut sebagian sumber Sayyid Utsman bin Affan pernah membeli sumber mata air “raumah” di madinah yang airnya jernih dari seorang yahudi seharga 20.000 dirham (sekitar Rp. 5 Milyar) Kemudian sumber air tersebut diwakafkan untuk kepentingan kaum muslimin, karena saat itu kaum muslimin sedang kekurangan air bersih. Ia juga pernah menyumbangkan 1000 ekor unta (sekitar Rp. 10 Milyar) dan 70 ekor kuda ditambah 1000 dirham untuk kelancaran perang tabuk.
Sayyid tholhah dijuluki “al fayyadh” (yang sangat banyak infaknya) oleh Baginda Nabi, ia pernah menginfakkan hartanya sebesar 300.000 dirham (Rp. 18 Milyar)
Sayyid Abdurrohman bin Auf, dikenal sebagai pedagang yang tidak pernah rugi. Beliau yang pernah menyumbangkan 4000 dinar (sekitar Rp 4,5 Milyar). Ia juga pernah menyerahkan 500 ekor kuda (sekitar Rp. 5 Milyar) untuk kelengkapan tentara Islam.
Kalau zuhud diidentikkan dengan miskin, berarti para shohabat yang disebut di atas tidak zuhud? Mana mungkin mereka dijamin masuk surga?. 
Yang tidak boleh itu bukan punya dunya (kaya harta) tapi cinta dunia sehingga tertipu dunia, sedangkan letaknya cinta itu diqolbu. jadi zuhud urusan qolbu. 
Tanda tertipu bagaimana? Yang tadi disebutkan, bahwa hartanya tidak disyukuri dan tidak digunakan untuk beribadah. Maka dunia jangan sampai masuk dan menguasai qolbu, simpan saja di tangan.
Dalam hal ini, manusia bisa diklasifikasikan menjadi 4 tipe
1. Orang tidak cinta harta, namun kaya raya
2. Orang tidak cinta harta, juga miskin harta
3. Orang cinta harta, juga kaya raya
4. Orang cinta harta, namun miskin harta

Tipe ke 1 dan ke 2 termasuk zuhud, sedangkan yang ke 3 dan ke 4 bukan tipe zuhud walaupun miskin.
Harus diingat, "miskin bukan tanda kesholehan", karena di dalam al Quran pun dari surat Al fatihah sampai surat Annas, tidak ada yang menyebutkan tanda-tanda orang beriman, atau orang sholeh harus miskin. Sekali lagi yang ada itu jangan tertipu dunia
Kita umat islam "jangan ingin miskin, tapi harus siap miskin", artinya ketika hidup kita belum diberi kesejahteraan oleh Alloh jangan mengeluh, menggerutu dan putus asa. Tapi berusaha sepenuh daya keluar dari keadaan tersebut. Bukankah kita punya yel “ PERUBAHAN ! BISA, BISA, PASTI BISA. INSYA ALLOH”.
Saya bicara seperti ini bukan omdo (omong doang) karena memang pernah mengalami, 10 tahun saya hidup serba kekurangan, sering mengalami ketika mau makan tidak ada beras buat dimasak, harus pinjam dulu ke santri. Genting dipakai untuk “nyangrai”(menggoreng tanpa minyak) ikan asin sebagai pengganti wajan. Kemudian walaupun sudah berkeluarga, alhamdulillah semangat mencari ilmu tidak pernah surut, pernah suatu ketika ingin mengikuti “pasaran” fathul mu’in ke Mama Abdurrohman cikole-ciamis, untuk itu saya harus menanam sawi dulu, hasilnya dijual, uang penjualannya dikumpulkan, beberapa bulan kemudian barulah bisa berangkat ke ciamis.
Alhamdulillah, diantaranya berkah para guru, berkah mengamalkan wirid waqi’ah, sholawat dll, saya bisa keluar dari keadaan tersebut. Yang repot, hidup belum sejahtera, tapi malas; Kerja malas, berdo’a malas. Disuruh shaum 40 hari disertai mengamalkan wirid waqi’ah, tidak mau. Wirid sholawat 4444x juga berat. Ingat, innalloha laa yughoyyiru maa biqaumin hattaa yughoyyiruu maa bi anfusihim. Alloh tidak akan merubah keadaan kita, kalau kita tidak mau merubahnya sendiri. sudah seperti itu sunnatullohnya
Makanya kalau saya melihat kawan-kawan yang belum sejahtera, saya tidak menghinakan atau merendahkan. Diantaranya saya memberi motivasi agar “jangan terlalu lama miskinnya”, usahakan sepenuh daya agar berubah.
Kembali ke pembahasan awal, bahwa jangan anggap remeh amal yang menurut kita kecil/sedikit, selama kita terus menjaga qalbu kita. Setiap kebaikan khususnya yang termasuk sunnah (amalan yang dilakukan/berasal dari Baginda Nabi) mempunyai kekuatan spiritual yang luar biasa, yang bisa menurunkan nushrotulloh (pertolongan Alloh). Saya pernah mendengar al habib umar bin hafidz menceritakan sebuah kisah pada masa pemerintahan sayyid Umar bin khattab
Ketika sayyid Umar bin Khatab mengirim pasukan ke sebuah kota untuk menaklukan kota tersebut setelah sebelumnya menolak ajakan masuk Islam. Selang berhari-hari pasukan islam belum bisa menaklukkan kota tersebut. Akhirnya sang panglima meminta tambahan pasukan sejumlah 40.000 orang pada Khalifah Umar bin Khatab.
Khalifah Umar mengabulkan permintaan tersebut. Namun tambahan pasukan yang dikirim hanya berjumlah 4 orang saja. Beliau beralasan bahwa 4 orang ini masing-masing sama dengan 10.000 pasukan. Sayyid Umar berpesan pada 4 orang ini untuk menyelidiki mengapa pasukan Islam belum juga berhasil dalam penaklukan tersebut.
Berangkatlah tambahan pasukan ini dengan membawa misi khusus dari sang khalifah. Sesampainya di perkemahan pasukan muslim, 4 orang ini membaur dan mengikuti semua kegiatan pasukan. Mulai dari sholat berjamaah, qiyamul lail, tilawah dll. Mereka menilai bahwa dari segi ibadah pasukan ini tidak ada masalah. Lalu apa sebenarnya yang menjadi masalah mereka sehingga menghalangi mereka dari memperoleh kemenangan?
setelah diamati ternyata ada satu sunnah yang belum diamalkan oleh pasukan muslim saat itu, dengan berbagai alasan. Yaitu bersiwak. Setelah hal itu dimusyawarahkan dengan sang panglima, maka semua pasukan dikumpulkan. Mereka diminta untuk menebang pohon untuk membuat siwak. Semua pasukan menuruti perintah ini. Mereka berbondong-bondong mencari pohon yang kayunya bisa dipakai untuk bersiwak lalu menebangnya kemudian dibuatlah siwak. Setelah itu mereka semua bersiwak dengan kayu dari pohon yang sudah mereka tebang tadi.
Setelah semua bersiwak pasukan ini bersiap menyerang kota tersebut. Sesampainya di kota, mereka sangat kaget bercampur bahagia, karena ternyata pasukan kafir telah pergi dari kota tersebut, tidak ada satupun. dengan kata lain mereka menang tanpa berperang
Setelah ditelusuri penyebabnya, ternyata saat semua pasukan muslim menebang pohon, sampai bersiwak tadi, ada mata-mata pihak kafir yang mengintai semua kegiatan pasukan islam tersebut. Kemudian si mata-mata melaporkan kepada pimpinannya bahwa pasukan muslim sangat hebat dan menyeramkan, mereka sedang memakan kayu dan terlihat sedang mengasah gigi-gigi mereka dengan kayu tersebut, “mungkin mereka akan memakan kita juga komandan” ujar mata-mata itu. Padahal mereka sedang bersiwak
Ketika kita melakukan sebuah kebaikan dengan ikhlas maka Alloh ridho, kalau sudah ridho, maka pertolonganpun turun.

HIKMAH KE 47
TETAPLAH BERDZIKIR WALAU BELUM KHUSYU

لا تَتْرُكِ الذِّكْرَ لِعَدَمِ حُضورِكَ مَعَ اللهِ فيهِ، لِأَنَّ غَفْلَتَكَ عَنْ وُجودِ ذِكْرهِ أَشَدُّ مِنْ غَفْلتِكَ في وُجودِ ذِكْرِهِ. فَعَسى أَنْ يَرْفَعَكَ مِنْ ذِكْرٍ مَعَ وُجودِ غَفْلةٍ إلى ذِكْرٍ مَعَ وُجودِ يَقَظَةٍ، وَمِنْ ذِكِرٍ مَعَ وُجودِ يَقَظَةٍ إلى ذِكِرٍ مَعَ وُجودِ حُضورٍ، وَمِنْ ذِكِرٍ مَعَ وُجودِ حُضورٍ إلى ذِكِرٍ مَعَ وُجودِ غَيْبَةٍ عَمّا سِوَى المَذْكورِ، (وَمَا ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ بِعَزِيزٍ(

“Jangan tinggalkan dzikir lantaran hatimu belum bisa khusyu. Sebab, ghaflahnya (lalai) hatimu ketika tidak berdzikir itu lebih buruk daripada lalainya hatimu saat berdzikir. Semoga Alloh mengangkat derajatmu dari dzikir disertai adanya lalai menuju dzikir disertai kesadaran (ingat kepada Alloh); dan dari dzikir yang disertai kesadaran menuju dzikir yang disertai kehadiran-Nya. Juga dari dzikir yang disertai kehadiran-Nya menuju dzikir yang meniadakan segala sesuatu selain-Nya. Dan yang demikian itu bagi Alloh bukanlah merupakan sesuatu yang sulit”.
Secara umum dzikir terbagi dua:

1. Dzikir untuk mencari pahala : membaca al Quran, tasbih, tahmid tahlil, sholawat, hizb-hizb, dan lain-lain. Hukum dzikir seperti ini sunat
2. Dzikir untuk membersihkan qolbu dari berbagai penyakitnya. Dzikir seperti ini hukumnya wajib. Berdasarkan ;Q.S Al an’am ayat 120

وَذَرُوا ظَاهِرَ الإثْمِ وَبَاطِنَهُ إِنَّ الَّذِينَ يَكْسِبُونَ الإثْمَ سَيُجْزَوْنَ بِمَا كَانُوا يَقْتَرِفُونَ

“Dan tinggalkanlah dosa dzohir (yang nampak) dan dosa bathin (yang tersembunyi). Sesungguhnya orang-orang yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan (pada hari kiamat), disebabkan apa yang mereka telah kerjakan."
Dosa dzohir atau yang nampak seumpama membunuh, zina, mencuri, ghasab, ghibah, dll.
Adapun dosa bathin, menurut syekh Amin Al Kurdi dalam Tanwirul Qulub, biangnya ada 7 yaitu; Takabbur(sombong), Tamak, Syahwat (malas), Dengki, Marah, Kikir dan Dendam. Dari ke 7 biang tersebut, penyakit/dosa qolbu bisa berkembang menjadi ribuan bahkan jutaan dosa lain.
Lalu bagaimana cara mengobati penyakit/dosa qalbu tersebut?
Baginda Nabi SAW bersabda yang diriwiyatkan oleh Imam Thobroni dari sayyid Jabir :

إِنَّ لِكُلِّ شَيْءٍ صِقَالَةً ، وَإِنَّ صِقَالَةَ الْقُلُوبِ ذِكْرُ اللَّهِ

"Sesungguhnya bagi segala sesuatu ada alat pembersihnya, dan alat pembersih qalbu adalah dzikir kepada Alloh”
Setelah kita tahu bahwa menjauhi dosa bathin/penyakit qalbu hukumnya wajib, alatnyapun sudah ada yaitu dzikir. Apakah sudah cukup dengan memiliki alatnya saja? Belum, saudaraku. Selain memiliki alatnya, juga harus memakai cara yang benar.

Anak kecil disuruh mencuci piring oleh ibunya, alatnya (sabun dan spons) ada, tapi tidak diajarkan bagaimana caranya. Kira-kira apakah piringnya akan bersih? 
Mungkin saja piring yang sudah dicuci masih ada bau amisnya, masih licin karena lemak tidak terangkat, atau bahkan piringnya malah pecah. 

Begitupun dengan “mencuci" qalbu, walau sudah ada alatnya yaitu dzikir, tapi kalau belum tahu “caranya" tidak akan berpengaruh banyak.
"Cara” kalau diterjemahkan kedalam bahasa inggris menjadi methode, sedangkan kalau di terjemahkan kedalam bahasa arab menjadi thoriqoh. Maka thoriqoh bisa diartikan sebagai metoda/cara berdzikir agar dapat membersihkan qalbu. Alhasil, menggunakan thoriqoh dalam berdzikir itu hukumnya wajib.
Setelah anda mengamalkan thariqah, apakah dzikir anda selalu khusyu? 
Saat dzikir “laailaaha illalloh” apakah hatinya masih suka lupa kepada Alloh? 
Bukankah terkadang muncul jengkel dan putus asa, mengapa hati ini sulit untuk bisa khusyu?
Hikmah ke 47 di atas dapat membantu mengurangi rasa jengkel dan kecewa kita, menurut syekh ibn athaillah, janganlah anda meninggalkan dzikir walaupun anda belum bisa khusyu, karena lupanya hatimu disertai jauh dari dzikir (lisan), itu lebih berbahaya daripada lupanya hatimu namun lisannya masih berdzikir.
Hikmah ini juga sekaligus mengajarkan kita agar jangan meremehkan dzikir, sekalipun dzikir itu diucapkan oleh orang yang belum mengamalkan tarekat.

Oleh karena itu untuk orang-orang tarekat, jauhilah ucapan seperti “apaan itu subhanalloh, itu dzikir umum, kalau saya sudah punya dzikir khusus”, itu adalah bahasa sombong, belajarlah menghargai orang lain."Subhanalloh dzikir agung, alhamdulillah dzikir agung, Allohu akbar dzikir agung, laailaahaillaloh lebih agung".

Boleh jadi ada pergeseran, tadinya dzikir kita ada lupanya, kepada dzikir yang ada yaqdzohnya (melek). Nanti dari dzikir yaqdzoh (banyak ingatnya) bergeser lagi menjadi dzikir hudhur (hadir hati), sudah merasakan berhadapan dengan Alloh, dekatnya Alloh, kebesamaan Alloh, dari dzikir hudhur naik lagi kepada dzikir ghaibah (hilangnya semua selain Alloh termasuk diri kita),
Bagaimana itu maksudnya? Hal-hal seperti ini tidak bisa difikirkan oleh otak, harus diamalkan dan dirasakan. Tidaklah sulit bagi Alloh untuk meningkatkan maqom dzikir kita dari tahap ke tahap lainnya.

HIKMAH KE 48
TANDA QALBU YANG MATI

مِنْ عَلاماتِ مَوْتِ القَلْبِ عَدَمُ الحُزْنِ عَلَى ما فاتَكَ مِنَ المُوافَقاتِ. وتَرْكُ النَّدَمِ عَلَى ما فَعَلْتَهُ مِنْ وُجودِ الزَّلّاتِ.

“Diantara tanda matinya qolbu adalah tidak merasa sedih apabila engkau meninggalkan kebaikan/ibadah, dan tidak prihatin atas adanya pelanggaran/dosa yang engkau lakukan”

Hikmah ini bukan untuk menilai orang lain, tapi untuk menilai diri sendiri.

Diantara tanda qalbu yang mati adalah tidak ada rasa sedih/penyesalan ketika ada kebaikan yang tidak dilaksanakan, padahal kita punya kesempatan untuk melaksanakannya. Salah satu contonya adalah shalat berjama'ah. Jika kita tidak merasa sedih karena tidak shalat berjama'ah, itu adalah tanda matinya qalbu.
Kita baru merasa sedih apabila hilang uang, motor, handphone atau benda lain, tapi “hilangnya” tahajud dari malam-malam kita, kosongnya pagi dari shalat dhuha, juga hilangnya kesempatan shodaqoh ternyata tidak membuat sedih, justru kita acuh-acuh saja. Jika begitu, berarti qolbu kita masih mati. kalau kita sudah menyadari hal ini, dzikirnya akan lebih berbeda lagi, bisa membuat kita menangis saat berdzikir.
Salah satu penyebab tidak adanya rasa sedih ketika terlewat ketaatan-ketaatan adalah terjebak oleh terminologi hukum. Dalam Islam, klasifikasi hukum ada 5. Yaitu:

1. Wajib = dilaksanakan diberi pahala, ditinggalkan disiksa
2. Sunat = dilaksanakan diberi pahala, ditinggalkan tidak akan disiksa
3. Mubah = dilaksanakan dan ditinggalkan sama saja
4. Makruh = dilaksanakan tidak akan disiksa, ditinggalkan diberi pahala
5. Haram = dilaksanakan disiksa, ditinggalkan diberi pahala

“Kang mengapa tidak shaum, ini kan hari senin/kamis?"
"Ah, kan cuma sunat, tidak akan disiksa kok."
Itulah alasan meninggalkan ibadah sunat juga tidak bersedih meninggalkannya. Untuk merubah pola fikir seperti itu, saya buat sebuah perumpamaan, sifatnya fiktif. Tanpa bermaksud istihza (mengolok-olok) akhirat dan malaikat, ini semata-mata agar mudah difahami orang awam.
Umpama di akhirat sedang terjadi penimbangan amal, ceritanya si Ujang amalnya ditimbang. Setelah ditimbang ternyata amal baik ujang adalah 1000 kg, amal jeleknya 1 ton, maka berimbanglah kebaikan dan kejelakan ujang. Tiba-tiba ada malaikat datang membawa amal si Ujang yang tertinggal, yaitu ketika si Ujang pulang kerja, matanya melotot melihat perempuan seksi, maka dimasukkanlah amal tersebut kedalam neraca dosa, kemudian beratnya bertambah misalkan menjadi 1 ton 5 ons, sehingga timbangan amal jelek Ujang lebih berat dari amal baik. Disaat akan diputuskan bahwa ujang masuk neraka, tiba-tiba ada lagi malaikat yang datang membawa amal yang tertinggal juga, amal apa itu? Dulu waktu Ujang mau makan, dia membaca bismillah terlebih dulu dan ternyata nilainya misalkan 5 ons juga, jadilah berat timbangannya berimbang lagi. Namun karena amal baik dibalas 10 kali lipat, maka kebaikan yang 5 ons tadi menjadi 50 ons (5kg) jadilah berat amal baik ujang 1005 kg (1 ton 5 kg) dan amal jeleknya 1 ton 5 ons. Maka dari itu diputuskanlah bahwa Ujang masuk surga. Kalau saja si Ujang saat mau makan tadi tidak membaca basmallah, maka amal jeleknya akan lebih berat dari amal baik sehingga Ujang akan masuk neraka.
Jadi, walaupun dengan meninggalkan amalan sunat tidak diancam dengan siksaan/neraka, tapi tidak menutup kemungkinan dengan meninggalkan amalan tersebut kita bisa masuk neraka.

HIMKMAH KE 58
KETA'ATAN / IBADAH KITA ADALAH PEMBERIAN ALLOH

لاتفرحك الطاعة لانها برزت منك وافرح بها لانها برزت من الله اليك قل بفضل الله وبرحمته فبذالك فليفرحوا هو خير مما يجمعون (الحكم ج ١ ص ٤٤(

Janganlah keta'atanmu membuatmu bahagia karena ia lahir darimu, dan berbahagialah dengannya karena ia datang dari Alloh kepadamu. Katakanlah "dengan karunia dan rahmat Alloh maka hendaklah mereka berbahagia, hal itu lebih baik daripada apa yg mereka kumpulkan."
Penjelasan singkat :

Sebagian umat islam ada yang merasa bahagia karena terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan yang bersifat duniawi dan syahwat seperti punya pekerjaan yang layak dengan gaji tinggi, rumah megah, mobil mewah, istri wah, harta berlimpah, disanjung orang, dan lain sebagainya. Semua itu tidaklah dilarang dalam islam, namun ketika hal tersebut tidak digunakan untuk beribadah kepada Alloh maka kita tidak akan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki, bahkan termasuk kedalam orang-orang yang tertipu. 

"Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Alloh serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. " (QS, Al-Hadid : 20)

Ada juga sebagian umat islam yang setingkat lebih baik, yaitu yang menemukan kebahagiaannya dalam keta'atan kepada Alloh. Syekh zainuddin al mulaibari dlm nadzom syu'abul iman menyebutkan

اخلص لربك ثم سر بطاعة واحزن بسوء تب وانت النادم

Ikhlaskanlah (ibadahmu) untuk Tuhanmu, lalu hendaklah berbahagia karena melakukan ta'at. 
Dan bersedihlah karena melakukan kejelekan, kemudian bertobatlah disertai keadaan kamu yang perihatin.Bahagia karena melakukan keta'atan itu sudah baik, namun tingkatkan lagi.
Jangan berhenti sampai disana. 

Dalam kutipan hikmah dari kitab Al-Hikam syekh Ibn Athoillah yang saya sebut di awal tulisan, bisa difahami bahwa Kebahagiaan seseorang karena telah melakukan keta'atan/ibadah terbagi dua :

1. Orang yg bahagia melakukan keta'ataan karena ia beranggapan bahwa dengan ilmunya, kekuatannya ia telah mampu melakukan keta'atan tsb. 
2. Orang yg bahagia telah melakukan ketaata'atan karena ia merasa bahwa ia telah mendapatkan karunia dan kasih sayang Alloh sehingga mampu beribadah.

Tipe orang pertama berkeyakinan bahwa ibadah tersebut terwujud oleh dirinya, ia melakukannya dengan kemampuan dan kekuatan sendiri, sedangkan hatinya samasekali tidak tembus kepada Alloh, maka hati orang seperti ini rentan disusupi ujub (merasa hebat karena mampu beramal), riya (mencari kedudukan dihati manusia) dan takabur (berbangga diri dan menyepelakan orang lain) yang dapat menghanguskan pahala amal ibadah tersebut, apa yang ia lakukan tidak akan menjadikannya dekat dengan Alloh. Bahkan syekh Ibn Athoillah memasukannya kedalam golongan orang yang kufur nikmat. Tetapi walau bagaimanapun juga orang- orang seperti ini masih lebih bagus dibanding orang yang tidak beribadah samasekali.

Tipe orang kedua berkeyakinan bahwa ibadah yang telah ia lakukan itu terwujud oleh Alloh, karena pertolongan Alloh kepadanya. Alloh yang telah memberi hidayah sehingga hatinya tergerak untuk beribadah, Alloh pula yang menggerakkan anggota badannya untuk beribadah. Laa haula walaa quwwata illa billah telah melekat dalam hatinya, Maka tidak akan muncul perasaan ujub riya atau takabur dalam hatinya. Hanya orang kurang sehat aqalnya yang
mengakui keberhasilan sebuah pekerjaan yang bukan dilakukan olehnya. 

والله خلقكم وما تعملون (الصفات : ٩٦(

"Alloh lah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian kerjakan. " (QS Ash-Shofat :96)
Marilah kita sama-sama meningkatkan kualitas ketaatan kita kepada-Nya dengan belajar ;

1. Lillah (karena Alloh)
2. Billah (oleh Alloh)
3. Ilalloh (menuju Alloh)

HIKMAH KE 60
KEINGINAN ADALAH KARUNIA ALLOH,
JANGAN MENJADI SUMBER PENDERITAAN

ماَ بَسَقتْ اَغْصاَنُ ذ ُلِّ ِاِلاَّ على بِذْرِ طَمَعٍ

"Tidak akan berkembang berbagai dahan kehinaan, kecuali di atas bibit thoma’."
Thoma’ adalah mengejar-ngejar nikmat yang belum ada, sedangkan yang ada tidak disyukuri. Bukan tidak boleh ada keinginan tapi keinginan tersebut hendaknya disertai dengan mensyukuri yang sudah ada.
Apakah rumah anda sudah dilengkapi kursi? Pernah berkunjung ke rumah orang kaya? Lalu melihat kursinya lebih bagus dari punya anda, dan harganya sekitar 20 juta? Bukankah suka timbul dalam hati keinginan memiliki kursi yang serupa dan menganggap remeh kursi yang ada, itulah thoma’. Contoh lain, untuk bepergian kita sudah punya avanza, ketika melihat orang lain memakai fortuner, maka avanza yang sudah ada mendadak kurang bernilai, “ah mobil saya Cuma avanza butut”.
Jangan begitu saudaraku, ucapkanlah alhamdulillah. Bukankah masih banyak orang yang bepergian kemana-mana menggunakan speda motor, ketika cuaca panas kepanasan, saat hujan, kehujanan. Bahkan masih banyak pula mereka yang kemana-mana hanya jalan kaki saja, karena tidak punya kendaraan sama sekali. Lebih dari itu, banyak saudara kita yang tidak mempunyai dua kaki untuk berjalan. Kemana-mana harus ngesot atau pakai kursi roda
Mengapa thama’ menjadi sumber kehinaan?
Menurut syekh Ahmad Zaruq Di dalam syarah al hikam ibn athoiyyah, thama’ menjadi sumber kehinaan, karena thama’ sering disertai dengan 3 hal

1. Tergesa-gesa untuk memiliki barang/keadaan yang diinginkan
2. Menunjukkan kelemahan dan keputusasaan kepada orang yang dianggap dapat memberi atau memenuhi keinginannya, dengan tujuan agar dikasihani.
3. Membentuk pribadi-pribadi “penjilat”
Mari baca dan telaah diri kita masing-masing, jika masih ada bibit thama’ dalam diri, sedikit-demi sedikit kita bersihkan dengan dzikir yang bermetoda, yang sudah diijazahkan. Karena dengan memelihara sifat thama’ dalam diri, kita tidak akan menemukan kebahagiaan dalam hidup


HIKMAH KE 61
ماَ قاَدَكَ شىءٌ مِثْـلُ الوَهْمِ

"Tiada sesuatu yang menuntunmu (kepada thama’) seperti waham (dugaan-dugaan)"
Waham adalah أَمْرٌ عَدَمِيٌّ(suatu hal yang tidak ada/angan-angan atau dugaan)
Setelah pada hikmah ke 60 disebutkan bahwa biang dari kehinaan adalah adanya thama’ dalam diri kita, disini dijelaskan bahwa yang membawa kita kepada thama’ adalah waham yaitu dugaan-dugaan.

Orang yang belum punya motor menduga; “enak kayanya kalau saya punya motor, kemana-mana tidak harus cape jalan kaki

Ketika sudah punya motor waham (dugaan) menuntunnya kembali untuk beranggapan “ enak kayanya kalau saya punya mobil, disamping tidak cape saat bepergian, tidak perlu kepanasan atau kehujanan juga”
Dan seterusnya bermunculan waham-waham yang lain, sehingga kita lupa untuk menikmati karunia Alloh yang sudah ada pada diri kita. Tidak akan pernah bahagia anda kalau seperti ini terus. Syukuri, nikmati dan manfaatkan yang sudah ada.
Kalau anda dalam keadaan sangat lapar, yang ada dihadapan anda sepiring nasi dan ikan asin, makan dan nikmati saja itu. Jangan malah menggerutu dan melamunkan ikan mas/gurame yang masih dikolam.
Oleh karena itu pada saat muncul lintasan waham (praduga) dalam benak kita, segera putuskan. Jangan terus diikuti, agar tidak menumbuhkan sifat thama.

HIKMAH KE 62

أنْتَ حُرُّمِمَّا اَنتَ عَنْهُ أيِسٌ وَعَبْد ٌ لمَا اَنتَ لهُ طاَمعُ

"Engkau merdeka dari segala sesuatu yang tidak engkau inginkan, dan engkau menjadi hamba bagi apa yang engkau inginkan."
Manusiawi jika kita mempunyai keinginan-keinginan terhadap apa yang belum dimiliki. Disatu sisi keinginan itu baik dan merupakan karunia Alloh, karena mendorong kita untuk melakukan perubahan-perubahan supaya lebih maju dan sejahtera.
Namun perlu diperhatikan; pertama, adanya keinginan tersebut jangan sampai membuat kita meremehkan bahkan menafikan nikmat-nikmat yang telah Alloh berikan. Kedua, keinginan yang terbersit didalam hati jangan terus difikirkan dan menjadi lamunan setiap saat, supaya kita tidak menjadi orang yang diperbudak/dijajah oleh keinginan-keinginan. Saat punya keinginan tulis saja dikertas, lalu simpan di dompet atau laci, supaya sewaktu-waktu ingat lagi. Dengan begitu kita merdeka, tidak diperbudak oleh keinginan sendiri.

HIKMAK KE 70
3 TANDA KEBODOHAN SALIK

مَنْ رَأيْتَهُ مُجيباً عَنْ كُلِّ ما سُئِلَ، وَمُعَبِّراً عَنْ كُلِّ ما شَهِدَ، وَذاكِراً كُلَّ ما عَلِمَ، فاسْتَدِلَّ بِذلِكَ عَلى وُجودِ جَهْلِهِ.

Jika engkau melihat seseorang selalu menjawab segala apa yang ditanyakan kepadanya, mengungkapkan segala apa yang disaksikannya, dan menyebut segala apa yang diketahuinya, maka ketahuilah bahwa itu adalah tanda kebodohan dirinya.

Apabila ada yang bertanya tentang suatu permasalahan, soal apapun itu, khususnya di bidang agama, kalau kita tidak tahu jawabannya atau ragu, jangan malu untuk berkata “maaf saya tidak tahu, nanti saya teliti lagi”. 

Jangan sampai karena gengsi, takut dikatakan bodoh, kita menjawab semaunya tanpa dasar yang kuat. Ini yang banyak berlaku di negeri kita saat ini, banyak orang yang karena sudah mampu bicara didepan publik tentang agama, merasa menjadi ustadz, dan mengeluarkan fatwa-fatwa yang dia sendiri belum begitu memahaminya secara menyeluruh, sungguh sangat memprihatinkan. 

Kalau sebatas berbicara keutamaan-keutamaan, mengajak orang lain kepada kebaikan yang bersifat qoth'i, silahkan saja. Tapi kalau sudah menyangkut hukum, biarlah ulama yang benar-benar kompeten dibidangnya yang menggarap.Dalam kitab ihya-u uluumiddin diceritakan sebuah hadits riwayat sayyid Ibn Umar, pernah ada yang bertanya kepada baginda Nabi SAW tentang apa dan dimana sebaik-sebaik tempat yang ada di bumi, karena saat itu beliau belum mengetahuinya secara pasti, ya dijawablah “saya tidak tahu”. Hingga satu waktu datang malak jibril megunjungi beliau, maka ditanyakanlah pertanyaan tadi kepadanya, ternyata malak jibril pun menjawab “saya tidak tahu” juga, sampai akhirnya Alloh memberitahu malak jibril bahwa sebaik-baik tempat adalah masjid.

Jika Nabi Muhammad SAW saja sebagai “madiinatul ilmi”, sumber segala ilmu berani mengatakan “saya tidak tahu”, lalu bagaimana dengan kita?Kita ini orang bodoh, banyak ilmu dan keahlian yang tidak dikuasai. Kalau memang tidak tahu, katakan saja tidak tahu, jangan menipu umat. Bagaimana pertanggung jawaban anda di hadapan Baginda Nabi kelak, atas penipuan yang anda lakukan demi kepentingan ego masing-masing.

Cukuplah menjadi tanda kebodohan salik, jika ia selalu menjawab semua pertanyaan yang diajukan kepadanya, padahal ia tidak terlalu menguasainya.Tanda kebodohan salik lainnya adalah suka menceritakan apa yang ia saksikan dan alami mengenai kegaiban, mengalami hal-hal aneh seperti didatangi Nabi Muhammad dalam keadaan sadar, didatangi syekh abdul qodir, dapat melihat surga atau neraka dll, dengan tujuan agar dianggap hebat oleh orang lain. 
Kalau mengkonsultasikannya kepada guru mursyid atau orang-orang yang kompeten dan dipercaya, boleh-boleh saja.mengenai hal ini Ulama sufi mengatakan :

قُلُوْبُ الْأَحْرَارِ قُبُوْرُ الْأَسْرَارِ

"Hatinya orang-orang merdeka (arif billah) adalah quburannya rahasia-rahasia”
Keanehan-keanehan selama menjalani suluk simpanlah dalam hati, jangan diumbar.
Dan tanda kebodohan salik yang ke-3 adalah selalu menceritakan apa yang ia ketahui, tanpa meneliti kebenarannya terlebih dahulu, dan tanpa melihat situasi serta kondisi saat berbicara.

HIKMAH KE 71

إِنَّمَا جَعَلَ الدَّارَ الْآخِرَةَ مَحَلًّا لِجَزَآءِ عِبَادِهِ الْمُؤْمِنِيْنَ لِأَنَّ هَذِهِ الدَّارَ لَاتَسَعُ مَايُرِيْدُ أَنْ يُعْطِيَهُمْ وَلِأَنَّهُ أَجَلَّ أَقْدَارَهُمْ عَنْ أَنْ يُجَازِيَهُمْ فِيْ دَارٍ لَابَقَآءَ لَهَا

“Sesungguhnya Alloh menjadikan negeri Akhirat sebagai tempat pembalasan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, sebab dunia ini tidak akan cukup untuk menampung apa yang hendak Dia berikan kepada mereka. Dan Juga karena Alloh telah mengangkat derajat mereka, maka untuk balasan amalan merekapun tak patut diberikan di tempat yang tidak kekal.”
Logis berfikir bahwa setiap pekerjaan ada imbalan, termasuk di dalam al Quran dan al Hadits disebutkan bahwa apabila kita beramal akan ada pahalanya. Bahkan ada beberapa kitab ulama yang menyatakan umpama mengamalkan surat Waqi’ah sekian bilangan dan puasa sekian hari, akan memperbanyak rizki, mengamalkan wirid "wa adzzin finnasi" dan sholawat adrikni bisa ke mekah, semua Ini memberi kesan kepada kita bahwa rizki tersebut adalah imbalan amal, betul?. 
Saya (pangersa Uwa) bicara pengalaman sendiri, karena memang dari gurunya juga begitu, wirid anu buat anu, ketika diberi wirid ini, hasilnya ini. Hal tersebut tidaklah salah, hanya kebanyakan dari kita beranggapan bahwa itulah balasan amalan.
Padahal sebenarnya yang disebutkan jaza (balasan), tsawab (pahala) tidak diberikan di saat manusia masih hidup, tapi diberikan di akhirat.

إِنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ أَكَادُ أُخْفِيهَا لِتُجْزَىٰ كُلُّ نَفْسٍ بِمَا تَسْعَىٰ

“Segungguhnya hari kiamat itu akan datang Aku merahasiakan (waktunya) supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan” (Q.S Thoha : 15)

Tidak ada pahala di dunia, lalu apabila mengamalkan wirid “anu” bisa hasil “anu”, itu apa namanya? Itu adalah “bonusnya”. Masa puasa 40 hari dibalas dengan satu innova, betapa murahnya, cuma sekitar 200 - 400 juta. Yang namanya pahala di akhirat, tiang surganya saja emas semua. Kalau di uangkan, berapa triliun?Kenapa ya Alloh tidak kontan sekarang?
Karena dunia ini tidak akan cukup untuk tempat penyimpanan pahala, bayangkan saja, pahala satu orang yang melakukan sholat sunat fajar melebihi langit, bumi serta isinya, itu baru satu orang dan satu amalan saja. Bagaimana kalau pahala jutaan umat islam dengan triliyunan amalnya?Selain itu dunia ini fana (akan rusak) apabila pahala diberikan di dunia, ketika dunia rusak, maka pahalapun ikut rusak.

HIKMAH KE 72

مَنْ وَجَدَ ثَمْرَةَ عَمَلِهِ عَاجِلًا فَهُوَ دَلِيْلٌ عَلَى وُجُوْدِ الْقَبُوْلِ آجِلًا

“Barangsiapa yang merasakan buah dari amalnya dengan segera (di dunia), maka hal itu dapat dijadikannya tanda qobul (penerimaan) Alloh di Akhirat”
Adanya “bonus” yang Alloh berikan di dunia atas suatu amalan seperti yg disebutkan pada hikmah ke 71 di atas, atau juga berupa ; akhlak baik, iman kuat jiwa sholeh, rizki dan ilmu barokah, itu jadi indikator bahwa di akhirat sudah disediakan pahala yang lebih besar dan lebih baik.
Ilustrasinya seperti ini ; si ujang bekerja di juragan Agus untuk mengurus dan menggarap sawah, honor setiap bulannya misalkan Rp1.000.000. Suatu waktu juragan Agus mengontrol ke sawah dan nampaklah ujang sedang mencangkul dengan giatnya walaupun di bawah terik matahari, ternyata cangkul yang dipakai ujang sudah jelek, copot lagi-copot lagi dari “dorannya” (gagang cangkul), melihat hal itu, juragan Agus langsung memanggil ujang, dan memberinya uang Rp300.000 untuk membeli cangkul baru. 

“waduh uangnya kebanyakan juragan kalau hanya untuk membeli satu cangkul”, kata ujang. 
“sisanya buat kamu aja, karena kamu kerjanya giat dan bagus”. Jawab juragan Agus.
Begitulah kira-kira, bonus kembalian pembelian cangkul yang diberikan juragan Agus, bukanlah honor bulanan, namun menjadi indikator akan adanya honor yang lebih besar di akhir bulan.
Kembali ke persoalan di atas, karena balasan atas amalan itu di akhirat, maka mengawetkan amal itu sampai mati, gangguan ibadah ada. Sebelum pelaksanaan, seperti malas. Disaat dan setelah pelaksanaan, seperti riya takabbur ujub dll, apabila kita tidak mampu menjaganya maka “kantung” amal kita bocor.

“Pak bawa apa?”. “Beras !”
“Berapa karung?”. “10 karung !”
“Mau Kemana?”. “Ke jakarta !”
“Dari mana?”. “Sukabumi !”

Pas sampai ke pasar induk jakarta karungnya kosong semua, berasnya habis berceceran di jalan. Setelah diperiksa ternyata karungnya bocor semua.
Banyak sekali ibadah manusia di dunia, tujuannya untuk bekal di akhirat, namun ketika diperiksa di akhirat ternyata tinggal “karungnya” saja yang tersisa.

HIKMAH KE 87
KAROMAH : MELIPAT JARAK YANG HAKIKI

اَلطَّيُّ الْحَقِيْقِيُّ اَنْ تَطْوِيَ مَسَافَةَ الدُّنْيَا عَنْكَ حَتَّى تَرَى الْآخِرَةَ اَقْرَبَ إِلَيْكَ مِنْكَ

"Atthayyu (kemampuan melipat/meringkas jarak) yang hakiki ialah jika engkau bisa melipat jarak dunia ini, sehingga engkau dapat melihat akhirat itu lebih dekat kepadamu dari pada dirimu sendiri".
Di dalam kitab jaami’u karoomaatil auliya syekh Yusuf An Nabhani menjelaskan tentang beberapa jenis karomat wali-wali Alloh, diantaranya ada “inziwa-ul ardhi” (mengerutkan bumi) atau dikenal juga dengan istilah “Thayyul ardhi” (melipat bumi/jarak), dan thayyuzzaman (meringkas waktu), contohnya para wali dari pamijahan (Tasikmalaya, Jawa Barat) berangkat ke mekah yang tadinya berjarak ribuan kilometer dan membutuhkan waktu berjam-jam atau berhari hari, tapi hanya ditempuh dalam waktu 5 -10 menit bahkan bisa sekejap mata. inilah athhayyu yang dikenal oleh banyak masyarakat dan dianggap sebagai tanda kewalian seseorang, sehingga kalau tidak bisa seperti itu, diragukanlah kewaliannya.
Dampaknya, tidak sedikit orang belajar tarekat yang terobsesi oleh kemampuan tersebut, terus mengharapkannya sampai putus asa, “kenapa ya saya belajar tarekat sudah bertahun-tahun, tapi ko gini-gini aja, belum ada karomatnya”
Kalau dalam diri kita masih ada fikiran seperti itu, mari kita luruskan. Syekh ibn Athoillah, dalam hikmah ke 87 di atas menegaskan bahwa atthayyu (pelipatan) yang hakiki bukan melipat jarak, sampai ketempat yang jauh dalam sekejap mata. Dalam bertarekat, kemampuan seperti itu jangan dikejar-kejar, seandainyapun suatu saat mengalami, lewatkan saja, tidak usah diingat-ingat apalagi diumbar kepada orang lain, supaya tidak terjebak.
Menurut beliau, Atthayyu yang hakiki adalah pandangan qalbu tembus ke akhirat, apapun yang dilakukan di dunia selalu diperhitungkan manfaat dan madharatnya untuk kehidupan di akhirat. Contoh kalau mau berbicara, timbang dulu, pembicaraan ini bermanfaat tidak ya untuk diakhirat?, kalau saya melakukan ini, kira-kira di akhirat bagaimana ya? bahaya tidak?.
Seperti inilah atthayyu yang sebenarnya, yang dilipatnya bukan jarak di bumi dari satu tempat ke tempat lain, melainkan dari bumi ke akhirat. Orang yang sudah berkemampuan melakukan atthayyu yang hakiki ini, terkadang diberi thayyul ardhi (melipat jarak) yang tadinya jauh menjadi dekat. Dalam tarekat hal seperti ini masuknya kedalam bonus, bukan tujuan.

HIKMAH KE 93
ISYARAT DARI ALLOH AGAR KITA MENGENALNYA

مَتَى اَعْطَاكَ أَشْهَدَكَ بِرَّهُ وَمَتَى مَنَعَكَ أَشْهَدَكَ قَهْرَهُ فَهُوَ فِيْ كُلِّ ذلِكَ مُتَعَرِّفٌ إِلَيْكَ وَمُقَبِّلٌ بِوُجُوْدِ لُطْفِهِ عَلَيْكَ

Ketika Alloh memberimu, maka Dia memperlihatkan kebaikanNya kepadamu, dan ketika Dia menolak memberimu, maka Dia memperlihatkan sifat Qohhar (memaksa)Nya kepadamu. Dalam semua itu, Dia sedang memperkenalkan diri kepadamu, dan menghadap kepadamu dengan kelembutanNya
Apabila ada hal-hal yang menyenangkan yang terjadi pada diri kita, apapun bentuknya dan apapun sebabnya ingatlah bahwa itu merupakan pemberian Alloh. Dan melalui hal itu Dia sedang memperkenalkan diri kepada kita dengan memperlihatkan kebaikanNya, kedermawananNya serta kasih sayangNya
Sebaliknya ketika kita mengalami kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan, maka tembuskan kedalam hati bahwa Dia sedang memperkenalkan diriNya kepada kita dengan menampakkan sifat QohharNya (berkuasa/memaksa). Kita lemah sedangkan Dia kuat, keinginan kita tidak dapat mengalahkan kehendakNya, Dia yang mengatur kita, bukan kita yang mengaturNya. Secerdas dan sekuat apapun usaha kita untuk menghindari hal-hal yang menurut kita buruk, tetap saja kehendak dan KuasaNyalah yang berlaku
Jadi apapun yang terjadi kepada kita, baik kejadian yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, semuanya merupakan sein (isyarat) dari Alloh agar kita kembali mengingatNya, dan mengenalNya.
Di dalam muqaddimah kitab sirrul asror pada penjelasan mengenai awal penciptaan, syekh ‘Abdul Qodir al Jailani QS mengutip sebuah hadis Qudsi sebagai berikut :

كُنْتُ كَنْزًا مَخْفِيًّا فَأَحْبَبْتُ أَنْ أُعْرَفَ فخَلَقْتُ الْخَلْقَ لِكَيْ أُعْرَفَ

Aku Adalah perbendaharaan yang terpendam. Aku ingin dikenali, maka Aku ciptakan makhluq agar Aku dikenali

HIKMAH KE 104
"AGAR TENANG DAN TENTRAM DALAM MENJALANI UJIAN HIDUP"


لِيُخَفِّفْ اَلَمَ البَلاَءِ عَلَيْكَ عِلْمُكَ بِاَنَّهُ سُبْحَانَهُ هُوَ الْمُبْلِيْ لَكَ. فَالَّذِيْ وَاجَهَتْكَ مِنْهُ الْاَقْدَارُ هُوَالَّذِيْ عَوَّدَكَ حُسنَ الْاِخْتِيَارِ

“Pengetahuanmu bahwa sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala adalah yang memberimu bala/ujian, harus meringankan pahitnya ujian tersebut. Karena Dzat yang memberimu taqdir-taqdir itu adalah Dzat yang selalu memberi pilihan terbaik untukmu”
Kalau kita ingin merasa ringan dan tenang saat menghadapi bala/ujian, maka ingatlah bahwa apapun yang terjadi pada kita itu adalah kerja Allah.
Kita ambil sebuah ilustrasi ; Ujang dan neneng adalah sepasang pengantin baru, keduanya masih diliputi rasa cinta. Satu saat Neneng ingin menggoda ujang suami tercintanya. Kesempatan tersebut muncul ketika ujang mau duduk di atas kursi yang ada dibelakangnya, dengan spontan neneng mengambil kursinya. Sehingga ujang terjatuh. Kaget, sakit dan ingin marah itu yang dirasakan ujang kira-kira, tapi saat mendengar tawanya neneng dari belakang, tahulah ia bahwa yang membuatnya terjatuh adalah istri tercintanya, maka rasa sakitnya mulai terobati, kemudian muncul bahagia dan tanpa fikir panjang lagi, ujang langsung menyusul neneng yang berlari masuk ke dalam kamar. Akhirnya kemesraan pun terjalin antara keduanya Mengapa ujang bahagia padahal ia terjatuh? karena 3 faktor :

1. ujang tahu yang membuatnya jatuh adalah neneng
2. ujang mencintai neneng
3. ujang berbaik sangka, neneng menjatuhkannya bukan karena benci tapi tanda sayang dan merupakan "isyarat" untuk "bermesraan"

Begitu juga kita kepada Alloh.Kalau kita sudah faham al hikam, mendapatkan ujian itu memang terasa sakit dan perih namun ada bahagianya juga, karena kita tahu dan sadar bahwa itu adalah kerja Allah, yang dicintai dan mencintai kita. Dan juga karena Dia adalah Dzat yang selalu memberi yang terbaik bagi kita, walaupun sering kita belum bisa menemukan kebaikan-Nya dalam pahitnya ujian yang dijalani.

وَٱصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ حِينَ تَقُومُ

“Dan bersabarlah terhadap hukum Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu berdiri” (Q.S at thur : 48)

HIKMAH KE 139
MENEMUKAN ALLOH MELALUI MAKHLUKNYA


أظْهَرَ كُلَّ شَيْءٍ لِأنَّهُ الباطِنُ، وَطوى وُجودَ كُلِّ شَيْءٍ لِأنَّهُ الظّاهِرُ.

“Alloh mendzohirkan segala sesuatu, karena Dia yang maha batin. Dan Alloh melipat wujud segala sesuatu, karena Dialah yang maha dzohir"

Alloh mendzohirkan seluruh mahluk sehingga bisa kita lihat, karena Dia Maha Bathin. Maka dzohirnya makhluk tersebut merupakan jembatan agar kita menemukan Alloh yang maha bathin
Contohnya seperti ini :

Saya bersembunyi dibalik meja, sehingga bapak-bapak tidak dapat melihat saya. Kemudian saya mengangkat tangan keatas sambil memegang peci. Maka yang nampak bagi bapak-bapak adalah peci saya, bukan saya.

Saya bertanya, “apakah peci saya ada?”. Anda pasti mengatakan "Ada" karena memang pecinya dapat anda lihat.
Saya bertanya lagi, “saya ada tidak?” Pasti anda menjawab "ada" walaupun mata anda tidak dapat melihat saya. Karena anda tahu yang “mendzohirkan peci” itu adalah saya. Dengan demikian melalui dzohirnya (tampaknya) peci, anda bisa mengetahui dan menemukan “ada”nya saya. Maksud perkataan syekh ibn ‘Athoillah “Dan Alloh melipat wujud segala sesuatu, karena Dialah yang maha dzohir.” Kalau disambungkan dengan contoh di atas, yang tampak pertamanya bagi anda adalah peci, kemudian anda mendekati peci yang saya pegang, setelah anda semakin dekat dengan peci maka anda akan menemukan saya. Setelah itu keberadaan peci akan anda anggap tidak ada, karena perhatian anda akan lebih terfokus kepada sayanya ketimbang peci saya. Ketika kita melihat makhluk, misalkan ayam atau mobil, mula-mula yang terlihat adalah wujud mobilnya, semakin kita “mendekati” atau mentafakkuri mobil tersebut* disertai dzikir khofi dalam qalbu, maka lama kelamaan wujud mobil lenyap dari perhatian/pandangan kita, karena terkalahkan oleh kuatnya dan nikmatnya pandangan mata hati (bashiroh) kepada Alloh

* mobil terbuat dari besi (salahsatunya), besi berasal dari bijih besi, bijih besi dari tanah, tanah berasal dari nur muhammad, nur muhammad berasal dari nur Alloh

HIKMAH KE 175
MENYIKAPI PERMASALAHAN HIDUP

ربما وجدت من المزيد فى الفاقات مالا تجده فى الصلاة والصوم

"Terkadang kamu menemukan suatu limpahan dari berbagai faqoh, yang tidak kamu temukan dalam sholat dan puasa"
Dalam menjalani kehidupan, siapapun orangnya pasti akan menemukan masalah; ekonomi terpuruk, dililit hutang, terancam PHK, masalah keluarga, sulit punya anak, sampai susah mendapatkan pasangan hidup dan banyak lagi masalah-masalah lain.
Dalam istilah kitab al hikam, kesulitan-kesulitan atau masalah tersebut dikenal dengan faqoh.
Banyak orang tidak menyukai faqoh, karena tidak enak bagi nafsu dan bertentangan dengan syahwat.
Banyak pula orang yang salah dalam menyikapi faqoh tsb; mengeluh, putus asa menyalahkan taqdir bahkan ada yang sampai bunuh diri. Lalu bagaimana sebaiknya kita menghadapi faqoh?
Sekurang-kurangnya ada dua sikap yang harus kita ambil :

1.      Muhasabah/Instropeksi diri; mungkin faqoh tsb menimpa kita karena kesalahan kita sendiri, misalkan kurang baik dalam memenuhi kewajiban kita kepada Alloh, atau kewajiaban kita selaku makhluk sosial. Maka segera perbaikilah !

2.      Meluruskan pemahaman tentang faqoh, memandang faqoh sebagai suatu hal yg positif
      Pada hikmah yang disebutkan di awal, syekh ibn athoillah assakandari ra. memberi pemahaman positif sekaligus memberi kita motivasi agar optimis dalam menghadapi faqoh. Beliau mengungkapkan bahwa terkadang didalam faqoh kita mendapatkan limpahan dari Alloh yang tidak kita dapatkan dari sholat dan shaum, diantaranya berupa bersihnya qalbu, sucinya sir serta kedekatan dengan Alloh

Hal itu disebabkan karena terkadang didalam sholat dan shaum masih terselip kepuasan-kepuasan syahwat, tak jarang kita berbangga diri (takabbur) karena telah bisa melaksanakan sholat dan shaum, kemudian memandang hina orang-orang yang belum bisa melaksanakannya, atau dengan sholat dan shaum tersebut kita mencari kedudukan di hati manusia (riya), ingin disebut ahli ibadah dan lain-lain.

Sebaliknya, faqoh yang menimpa kita, tidak ada bagian syahwat didalamnya, yang ada hanya membuat kita merasa lemah dan hina dihadapan Alloh, kitapun menjadi tawadhu kepadaNya. Dalam keadaan sperti ini kita dekat dengan Alloh. Imam al Ghazali dalam kitabnya minhajul abidin mengutip sebuah hadis Qudsi

انا عند المنكسرة قلوبهم
Aku beserta mereka yg pecah hatinya

وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ وَأَنتُمْ أَذِلَّةٌ ۖ فَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ 
)ال عمران ١٢٣(
"Dan benar-benar Alloh telah menolong kalian semua pada perang badar, dalam keadaan kalian (merasa) hina/lemah. Maka bertakwalah kepada Alloh, pasti kalian bersyukur (ali imron 123)
Marilah kita sama-sama belajar menjadikan faqoh sebagai sarana perbaikan diri dan jembatan untuk lebih dekat denganNya.






HIKMAH  ke 219
KETIKA IBADAH DIRASA TAK LAYAK DITERIMA
لَاتَيْأَسُ مِنْ قَبُوْلِ عَمَلٍ لَمْ تَجِدْ فِيْهِ وُجُوْدَ الْحُضُوْرِ فَرُبَّمَا قُبِلَ مِنَ الْعَمَلِ مَالَمْ تُدْرِكْ ثَمْرَتَهُ عَاجِلًا
"Janganlah kamu putus asa dari diterimanya suatu amal yang tidak kamu temukan hudhur di dalamnya, karena terkadang diterima pula suatu amal yang tidak ditemukan hudhur di dalamnya dengan segera".
Dalam menempuh perjalanan menuju Alloh, “kendaraan” yang digunakan seorang salik adalah ibadah fardu dan sunat. Baik itu sholat fardu, sholat sunat, dzikir, dakwah, mengajar dll. Jangan sempitkan hanya dengan dzikir atau dakwah saja. Ini yang suka menjadi biang perpecahan.
Karena dalam melakukan amalan-amalan tersebut dituntut disertai dengan hudhur (hadirnya hati, kesadaran akan kehadiran Alloh), sehingga ketika salik melaksanakan sebuah amalan tanpa adanya hudhur, sering mengakibatkan ia putus asa dari diterimanya amalan itu, dan akhirnya meninggalkannya, tidak mau melakukannya lagi. Ini salah satu tipuan iblis dalam rangka menggoda manusia agar tidak beribadah.
Pada hikmah ke-219 di atas, syekh Ibn ‘Athoillah menegaskan Janganlah berputus asa akan diterimanya sebuah amalan yang tanpa hudhur, karena hal tersebut menjadi indikator buruk sangka kepada Alloh, serta i’timad ‘ala al amal (bergantung kepada ‘amal untuk sampai kepada Alloh). Kita tidak akan sampai kepada Alloh dengan amal-amal kita, tapi dengan kasih sayangNya, karena “dijemput” olehNya. Menurut Syekh ‘Abu sa’id al Khorroz :
مَنْ ظَنَّ اَنَّهُ بِالْعَمَلِ يَصِلُ فَهُوَ مُتَعَنِّى وَمَنْ ظَنَّ اَنَّهُ بِدُوْنِ الْعَمَلِ يَصِلُ فَهُوَ مُتَمَنِّى
"Barang siapa yang mengira bahwa dengan amal dia akan sampai kepada Alloh, maka dia adalah orang yang berpayah-payah/memberatkan diri, dan barang siapa mengira bahwa tanpa amal dia bisa sampai kepada Alloh maka dia adalah orang yang berkhayal/berbohong".
Bagaikan seorang anak yang sedang belajar berjalan, dari kejauhan ibunya memanggil dan melambaikan tangan, baru selangkah, dua langkah anaknya berjalan,dia jatuh, kemudian berusaha bangun dan mencoba berjalan lagi, namun jatuh lagi, terus terjadi seperti itu sampai akhirnya, saat sang ibu melihat anakya kecapean, barulah dia menjemput anaknya dengan pelukan kasih sayang. Begitu juga kita untuk sampai kepada Alloh.
Oleh karena itu, Lebik baik beramal/beribadah tanpa hudhur (serta terus berusaha agar hudhur), dari pada tidak beribadah sama sekali. Bagaimana akan bisa hudhur dalam ibadah, kalau ibadahnya saja tidak? Kita ini kan ibadahnya juga belajar, latihan. siapa yang mengaku sudah bisa ibadah dengan benar?Disamping itu, penting kita fahami bahwa, salah satu” bonus” (bukan balasan atau pahala) dari Alloh bagi orang yang melakukan ibadah dengan disertai hudhur adalah bisa merasakan manisnya/nikmatnya ibadah, dengan adanya bonus ini terkadang sebagian orang terjebak, dan terlena, berpindah haluan yang tadinya ibadah karena Alloh, menjadi mencari kenikmatan. Maka boleh jadi, tidak adanya hudhur (sehingga tidak merasakan manisnya ibadah) merupakan teguran dari Alloh agar kita kembali memurnikan tujuan ibadah kita hanya kepada-Nya, kembali kepada Ilaahii anta maqshuudii (Ya Alloh Engkaulah yang ku tuju) bukan kenikmatan, karena kenikmatan itu adalah makhluq.
Syekh al-Washitiy berkata :
إِسْتِحْلاَءُ الطَّاعَاتِ سَمُوْمٌ قَاتِلَةٌ

"mencari manisnya/kenikmatan dalam keta’atan-keta’atan adalah racun yang mematikan”
Download Button