Bekasi, Masa
Kerajaan…
Penelusuran
Poerbatjaraka (seorang ahli bahasa Sansakerta dan bahasa Jawa Kuno). Kata
“Bekasi” secara filologis berasal dari kata Candrabhaga; Candra berarti
bulan (“sasi” dalam bahasa Jawa Kuno) dan Bhaga berarti
bagian. Jadi Candrabhaga berarti bagian dari bulan. Pelafalannya kata
Candrabhaga kadang berubah menjadi Sasibhaga atau Bhagasasi.
Dalam pengucapannya sering disingkat Bhagasi, dan karena pengaruh
bahasa Belanda sering ditulis Bacassie (di Stasiun KA
Lemahabang pernah ditemukan plang nama Bacassie). Kata Bacassie kemudian
berubah menjadi Bekasi sampai dengan sekarang.
Candrabhaga merupakan
bagian dari Kerajaan Tarumanagara, yang berdiri sejak abad ke 5
Masehi. Ada 7 (tujuh) prasasti yang menyebutkan adanya kerajaan Tarumanagara
yang dipimpin oleh Maharaja Purnawarman, yakni : Prasasti
Tugu(Cilincing, Jakarta), Prasasti Ciaruteun, Prasasti
Muara Cianteun, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Jambu, Prasasti Pasir
Awi (ke enam prasasti ini ada di Daerah Bogor), dan satu prasasti di
daerah Bandung Selatan (Prasasti Cidangiang).
Diduga bahwa Bekasi
merupakan salah satu pusat Kerajaan Tarumanagara (Prasasti Tugu, berbunyi : ..dahulu
kali yang bernama Kali Candrabhaga digali oleh Maharaja Yang Mulia Purnawarman,
yang mengalir hingga ke laut, bahkan kali ini mengalir disekeliling istana
kerajaan. Kemudian, semasa 22 tahun dari tahta raja yang mulia dan bijaksana
beserta seluruh panji-panjinya menggali kali yang indah dan berair jernih,
“Gomati” namanya. Setelah sungai itu mengalir disekitar tanah kediaman Yang
Mulia Sang Purnawarman. Pekerjaan ini dimulai pada hari yang baik, yaitu pada
tanggal 8 paro petang bulan phalguna dan diakhiri pada tanggal 13 paro terang
bulan Caitra. Jadi, selesai hanya 21 hari saja. Panjang hasil galian kali itu
mencapai 6.122 tumbak. Untuk itu, diadakan selamatan yang dipimpin oleh para
Brahmana dan Raja mendharmakan 1000 ekor sapi…). Tulisan dalam
prasasti ini menggambarkan perintah Raja Purnawarman untuk menggali kali
Candrabhaga, yang bertujuan untuk mengairi sawah dan menghindar dari bencana
banjir yang kerap melanda wilayah Kerajaan Tarumanagara.
Setelah kerajaan
Tarumanagara runtuh (abad 7), kerajaan yang memiliki pengaruh cukup besar
terhadap Bekasi adalah Kerajaan Padjadjaran, terlihat dari
situs sejarah Batu Tulis (di daerah Bogor), Sutarga lebih
jauh menjelaskan, bahwa Bekasi merupakan bagian dari wilayah Kerajaan
Padjadjaran dan merupakan salah satu pelabuhan sungai yang ramai dikunjungi
oleh para pedagang. Bekasi menjadi kota yang sangat penting bagi Padjadjaran,
selanjutnya menjelaskan bahwa: “..Pakuan adalah Ibukota Kerajaan
Padjadjaran yang baru. Proses perpindahan ini didasarkan atas pertimbangan
geopolitik dan strategi militer. Sebab, jalur sepanjang Pakuan banyak dilalui
aliran sungai besar yakni sungai Ciliwung dan Cisadane. Oleh sebab itu,
kota-kota pelabuhan yang ramai ketika itu akan mudah terkontrol dengan baik
seperti Bekasi, Karawang, Kelapa, Tanggerang dan Mahaten atau
Banten Sorasoan…”
Demikianlah, waktu
berlalu, kerajaan-demi kerajaan tumbuh, berkembang, mengalami masa kejayaan,
runtuh, timbul kerajaan baru. Kedudukan Bekasi tetap menempati posisi strategis
dan tercatat dalam sejarah masing-masing kerajaan (terakhir tercatat dalam
sejarah, kerajaan yang menguasai Bekasi adalah Kerajaan Sumedanglarang,
yang menjadi bagian dari Kerajaan Mataram). Bahkan bukti-bukti mengenai
keberadaan kerajaan ini sampai sekarang masih ada, misalnya : ditemukannya
makam Wangsawidjaja dan Ratu Mayangsari (batu
nisan), makam Wijayakusumah serta sumur mandinya yang terdapat di kampung Ciketing,
DesaMustika Jaya, Bantargebang. Dimana baik batu nisan maupun kondisi sumur
serta bebatuan sekitarnya, menunjukkan bahwa usianya parallel dengan masa
Kerajaan Sumedanglarang. Demikian pula penemuan rantai di Kobak Rante,
Desa Sukamakmur, Kecamatan Sukakarya (konon katanya, daerah Kobak
Rante adalah daerah pinggir sungai yang cukup besar, hingga mampu dilayari
kapal. Jalur ini sering digunakan patroli kapal dari Sumedanglarang. Suatu
waktu, kapal bernamaTerongpeot terdampar disana, sungai mengalami
pendangkalan, Terongpeot tidak bisa berlayar, kayunya menjadi lapuk dan
tinggallah rantainya saja…)
Bekasi, masa
pendudukan Belanda…
Melihat sejarah Bekasi
pada masa pendudukan Belanda, hampir sama dengan melihat sejarah Indonesia
secara umum, karena letaknya berdekatan dengan Jakarta, maka sejarah Jakarta,
dari Jayakarta, Batavia, Sunda Kalapa, sampai dengan Jakarta yang kita kenal
sekarang melekat erat dengan Bekasi.
Tahun 1610, saat Pangeran
Jayakarta Wijayakrama mulai melakukan perjanjian dagang dengan VOC
(Verenigde Oost-indische Compagnie/semacam Kamar Dagang Belanda), yang empat
tahun kemudian (1614), Gubernur Jendral’nya (Van Reijnst) mendapatkan
ijin mendirikan benteng di sebelah utara keraton. Tahun 1618,Gubernur
Jendral Jan Pieterszoon Coen memperluas benteng hingga menjadi
bangunan yang kokoh, berbentuk segi empat dimana disetiap sudutnya, ditempatkan
meriam yang mengarah ke keraton. Tindakan provokasi dan mengancam ini,
menimbulkan amarah Pangeran Jayakarta, yang kemudian menyerang benteng ini.
Serangan ini ternyata sudah ditunggu oleh VOC, maka terjadilah pertempuran
antara pasukan Pangeran Jayakarta dengan VOC (April-Mei 1619). Dan sejarah
Indonesia mencatat, inilah awal bangsa Belanda (VOC dan kemudian digantikan
langsung oleh Pemerintah Kerajaan Belanda) mulai menancapkan kuku penjajahannya
dibumi Indonesia.
Setelah menguasai
Jayakarta/Batavia (1619), Belanda berusaha memperluas daerah kekuasaannya ke
Kerajaan Mataram, karena Raja Mataram mempunyai pengaruh yang sangat besar di
Pulau Jawa, upaya ini menimbulkan kemarahanSultan Agung Hanyorokokusumo.
Pada tahun 1628,
Sultan mengerahkan 2 bergodo (setingkat Brigade) angkatan lautnya untuk
menyerang Batavia, yang dipimpin oleh Tumenggung Baureksa danTumenggung
Sura Agul-agul, serta dibantu oleh Tumenggung Mandureja danTumenggung
Upasanta. Penyerangan besar-besaran ini dilakukan setelah pasukan Mataram
pimpinan Kyai Rangga (Tumenggung Tegal) gagal menguasai Banten
pada April 1628. Tumenggung Baureksa membawa 50 perahu perang yang dilengkapi
persediaan beras, padi, kelapa, gula dan pelbagai keperluan hidup sehari-hari.
Namun, karena jarak dan waktu yang lama, serangan ini dapat digagalkan Belanda
karena kalah persenjataan dan kekurangan pasokan logistik pasukan.
Walaupun mengalami
kekalahan telak, pasukan Mataram tidak mengendurkan niatnya untuk melakukan
penyerangan kembali. Gelombang kedua, pasukan Mataram berangkat ke
Batavia pada pertengahan Mei 1629. 20 Juni 1629, pasukan infantri yang dipimpin
oleh Kyai Adipati Juminah, Kyai Adipati Purbaya dan Kyai
Adipati Puger yang juga dibantu oleh Tumenggung Singaranu,
Raden Aria Wiranatapada, Tumenggung Madiun dan Kyai
Sumenep, menyerbu Batavia. Sebelumnya pasukan Mataram telah disiapkan
matang dan jauh sebelum gerakan ofensif dilakukan. Sepanjang rute perjalanan
kearah Batavia sudah dikirim terlebih dulu para punggawa yang bertugas
menyediakan suplai logistik pasukan. Sejarah mencatat daerah suplai logistik
pasukan Mataram berada disekitar wilayah Tegal,Cirebon, Indramayu,
Karawang dan Bekasi (base camp di Bekasi berada di
daerahBabelan).
Batavia dikepung dari
segala penjuru, pasukan Mataram yang pulang dari Banten ikut menutup Batavia
dari arah Barat (Kyai Rangga), tetapi sejarah kemudian mencatat bahwa walaupun
dikepung dari segala penjuru ternyata Belanda dapat mempertahankan Batavia
bahkan dapat memaksa mundur pasukan Mataram ke daerah pedalaman. Kegagalan ini,
menyebabkan sebagian besar pasukan Mataram memilih untuk tidak kembali ke
Mataram, karena Sultan Agung sudah menurunkan titah bahwa “…akan
membunuh (dipenggal kepalanya) pasukan yang gagal melakukan penyerangan, bila
kembali ke Mataram..”. Pasukan Mataram ini, kemudian menetap di
wilayah Bekasi dan membaur dengan penduduk asli, terutama di sekitar daerah
pantai dan di pedalaman, misalnya di Pekopen (konon, Pekopen
berasal dari kata pe-kopi-an, artinya tempat istirahat dan
ngopi’nya para tentara Mataram), Cibarusah, Pondok Rangon (konon
juga, merupakan pondok tempat bala tentara Mataram mengadakan perundingan dan
mengatur siasat penyerbuan, didirikan oleh Pangeran Rangga), Tambun,
dan bahkan ada pula yang membuka perkampungan baru, karenanya sangat beralasan
bila pengaruh kebudayaan Jawa terasa di sebagian daerah Bekasi. Tentara Mataram
yang datang ke Bekasi, tidak hanya berasal dari Mataram saja (Jawa Tengah),
tetapi juga ada yang berasal dari Sumenep (Madura, Jawa Timur), Kerajaan
Padjadjaran, Galuh dan Sumedanglarang (Jawa Barat). Karenanya di Bekasi
terdapat daerah-daerah yang berbahasa Sunda, dialek Banten, Jawa atau campuran.
Kedatangan tentara Mataram selain berpengaruh terhadap bahasa, penamaan tempat
juga ikut memperkaya khasanah budaya Bekasi, seperti Wayang Wong,
Wayang Kulit, Calung, Topeng dan lain-lain. Selain itu ada juga
kesenian olah keprajuritan “ujungan” yang menampilkan
keberanian, ketrampilan dan sentuhan ilmu bela diri, khas olah raga prajurit.
Bekasi, Masa
Pemerintahan Hindia Belanda…
Bekasi, pada masa ini
masuk ke dalam Regentschap Meester Cornelis, yang
terbagi atas empat district, yaitu Meester Cornelis, Kebayoran, Bekasi dan Cikarang.District
Bekasi, pada masa penjajahan Belanda dikenal sebagai wilayah pertanian yang
subur, yang terdiri atas tanah-tanah partikelir, system kepemilikan tanahnya
dikuasai oleh tuan-tuan tanah (kaum partikelir), yang terdiri dari pengusaha
Eropa dan para saudagar Cina. Diatas tanah partikelir ini ditempatkan Kepala
Desa atauDemang, yang diangkat oleh Residen dan digaji oleh tuan tanah.
Demang ini dibantu oleh seorang Juru Tulis, para Kepala Kampung, seorang amil,
seorang pencalang(pegawai politik desa), seorang kebayan (pesuruh
desa), dan seorang ulu-ulu(pengatur pengairan).
Untuk mengawasi tanah,
para tuan tanah mengangkat pegawai atau pembantu dekatnya, disebut potia atau lands opziener.
Potia biasanya keturunan Cina, yang diangkat oleh tuan tanah. Tugas potia
adalah mengawasi para pekerja, serta mewakili tuan tanah apabila tidak ada
ditempat. Disamping itu ada juga Mandor yang menguasai suatu
wilayah, disebut wilayah kemandoran. Dalam praktek sehari-hari, mandor
sangatlah berkuasa, seringkali tindakannya terhadap para penggarap melampaui
batas-batas kemanusiaan. Para penggarap adalah pemilik tanah sebelumnya, yang
tanahnya dijual pada tuan tanah. Orang yang diangkat mandor biasanya dari para
jagoan atau jawara yang ditakuti oleh para penduduk.
Distrik Bekasi
terkenal subur yang produktif, hasilnya lebih baik jika dibandingkan dengan
distrik-distrik lain di Batavia, distrik Bekasi rata-rata mencapai 30-40 pikul
padi setiap bau, sedangkan distrik lain hanya mampu menghasilkan padi 15-30
pikul setiap bau’nya. Namun demikian yang menikmati hasil kesuburan tanah
Bekasi adalah Sang tuan tanah, bukanlah rakyat Bekasi. Rakyat Bekasi tetap kekurangan,
dalam kondisi yang serba sulit, seringkali muncul tokoh pembela rakyat kecil,
semisal Entong Tolo, seorang kepala perambok yang selalu menggasak
harta orang-orang kaya, kemudian hasilnya dibagikan kepada rakyat kecil,
karenanya rakyat sangat menghormati dan melindungi keluarga Entong Tolo, Sang
Maling Budiman,Robin Hood’nya rakyat Bekasi. Di hampir semua wilayah
Bekasi memiliki cerita sejenis, dengan versi dan nama tokoh yang berbeda. Hal
ini juga, yang mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat Bekasi, terhadap
sesuatu yang berhubungan dengan ke’jawara’an.
Setelah Entong Tolo
ditangkap dan dibuang ke Menado, tahun 1913 di Bekasi muncul organisasi Sarekat
Islam (SI) yang banyak diminati masyarakat yang sebagian besar petani. Berbeda
dengan di daerah lain, kepengurusan SI Bekasi didominasi oleh kalangan
pedagang, petani, guru ngaji, bekas tuan tanah dan pejabat yang dipecat oleh
Pemerintah Hindia Belanda, serta para jagoan yang dikenal sebagai rampok
budiman. Karena jumlah yang cukup banyak, SI Bekasi kemudian menjadi kekuatan
yang dominan ketika berhadapan dengan para tuan tanah. Antara 1913-1922, SI
Bekasi menjadi penggerak berbagai protes sebagai upaya penentangan terhadap
berbagai penindasan terhadap petani, misalnya pemogokkan kerja paksa (rodi),
protes petani di Setu (1913) sampai pemogokkan pembayaran “cuke” (1918).
Bekasi, masa
pendudukan Jepang…
Kedatangan Jepang di
Indonesia bagi sebagian besar kalangan rakyat, memperkuat anggap eksatologis
ramalan Jayabaya (buku “Jangka Jayabaya”,
mengungkapkan:”…suatu ketika akan datang bangsa kulit kuning dari utara yang
akan mengusir bangsa kulit putih. Namun, ia hanya akan memerintah sebentar
yakni selama ‘seumur jagung’, sebagai Ratu Adil yang kelak akan melepaskan
Indonesia dari belenggu penjajahan…”
Pada awalnya,
penaklukan Jepang terhadap Belanda disambut dengan suka cita, yang dianggap
sebagai pembebas dari penderitaan. Rakyat Bekasi menyambut dengan kegembiraan,
dan semakin meluap ketika Jepang mengijinkan pengibaran Sang Merah Putih dan
dinyanyikannya lagu Indonesia Raya. Namun kegembiraan rakyat Bekasi hanya
sekejap, selang seminggu pemerintah Jepang mengeluarkan larangan pengibaran
Sang Merah Putih dan lagu Indonesia Raya. Sebagai gantinya Jepang memerintahkan
seluruh rakyat Bekasi mengibarkan bendera “Matahari Terbit” dan lagu
“Kimigayo”. Melalui pemaksaan ini, Jepang memulai babak baru penindasan, yang
semula dibanggakan sebagai “saudara tua”.
Kekejaman tentara
Jepang semakin kentara, ketika mengintruksikan agar seluruh rakyat Bekasi
berkumpul di depan kantor tangsi polisi, untuk menyaksikan hukuman pancung
terhadap penduduk Telukbuyung bernama Mahbub, yang
ditangkap karena disuga sebagai mata-mata Belanda dan menjual surat tugas
perawatan kuda-kuda militer Jepang. Hukum pancung ini sebagai shock theraphy
agar menimbulkan efek jera dan ketakutan bagi rakyat Bekasi. Bala tentara
Jepang juga memberlakukan ekonomi perang, padi dan ternak yang ada di Bekasi
Gun dicatat, dihimpun dan wajib diserahkan kepada penguasa militer Jepang.
Bukan saja untuk keperluan sehari-hari tapi juga untuk keperluan jangka
panjang, dalam rangka menunjang Perang Asia Timur Raya.
Akibatnya, rakyat
Bekasi mengalami kekurangan pangan, keadaan ini makin diperparah dengan adanya “Romusha” (kerja
rodi). Pemerintah militer Jepang juga melakukan penetrasi kebudayaan dengan
memaksa para pemuda Bekasi untuk belajar semangat bushido (spirit of samurai),
pendewaan Tenno Haika (kaisar Jepang). Para pemuda dididik melalui kursus atau
dengan melalui pembentukan Seinendan, Keibodan, Heiho dan tentara Pembela Tanah
Air (PETA), yang kemudian langsung ditempatkan kedalam organisasi militer Jepang.
Selain organisasi
bentukan Jepang, pemuda Bekasi mengorganisasikan diri dalam organisasi non
formal yaitu Gerakan Pemuda Islam Bekasi (GPIB), yang didirikan
pada tahun 1943 atas inisiatif para pemuda Islam Bekasi yang setiap malam
Jum’at mengadakan pengajian di Mesjid Al –Muwahiddin,
Bekasi, para anggotanya terdiri atas pemuda santri, pemuda pendidikan umum dan
pemuda “pasar” yang buta huruf. Awalnya GPIB dipimpin oleh Nurdin,
setelah ia meninggal 1944, digantikan olehMarzuki Urmaini. Hingga
awal kemerdekaan BPIB memiliki anggota yang banyak, markasnya di rumah Hasan Sjahroni,
di daerah pasar Bekasi, banyak anggotanya kemudian bergabung ke-BKR dan badan
perjuangan yang dipimpin oleh KH Noer Alie. GPIB banyak memiliki Cabang antara
lain, GPIB Pusat Daerah Bekasi (Marzuki Urmaini dan Muhayar), GPIB Daerah Ujung
Malang (KH Noer Alie), GPIB Daerah Tambun (Angkut Abu Gozali, GPIB Kranji (M.
Husein Kamaly) dan GPIB Cakung (Gusir).
Bekasi, masa
kemerdekaan…
Awal Agustus 1945,
tanda-tanda kekalahan Jepang dari Sekutu kian santer terdengar, terutama di
kawasan Asia Pasifik. Setelah bom atom “memeluk erat”Hiroshima dan
Nagasaki, Jepang menyerah. Gelora kemerdekaan tidak hanya milik pemuda Jakarta
saja, pemuda Bekasi’pun menyambut antusias, ketika diminta mengawal dan menjaga
keamanan Bung Karno dan Bung Hatta beserta rombongan yang “bergerak” ke
Rengasdenglok, pemuda Bekasi bergerak bahu-membahu mengamankan jalur perjalanan
kedua pemimpin tersebut, berangkat maupun kembali (bagi masyarakat yang
dilintasi jalur perjalanan, memiliki nostalgia heroik’nya tersendiri, dan jalur
inilah oleh rakyat Bekasi disebut dengan Jalan Lintas Proklamator,
melintas wilayah kecamatan Kedungwaringin, Cikarang Timur, Karangbahagia.
Setelah peristiwa ini,
esok harinya Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, pk 10.00 WIB di Pegangsaan
Timur 56, atas nama Bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta membacakan Teks
Proklamasi, yang kemudian disiarkan ke seluruh pelosok Indonesia. Rakyat
termasuk rakyat Bekasi menyambut dengan penuh suka cita. Inilah titik awal
untuk membangun bangsa setelah berabad-abad dibawah cengkraman penjajah, menjadi
bangsa yang merdeka, wahai…alangkah indahnya !!
Sisi lain kabar
gembira ini juga menimbulkan tindakan kekerasan, rakyat melampiaskan
kemarahannya yang sudah terpendam lama akibat kekejaman tentara Jepang.
Peristiwa pelucutan senjata dan pembunuhan terjadi juga di Bekasi. Peristiwa
pembunuhan tuan tanah Telukpucung dan penahanan 49 truk milik Jepang pada 25
Agustus 1947 (2 truk bermuatan senjata disita, sedang 47 truk yang berisi
tentara Jepang diperintahkan langsung ke Jakarta).
Insiden Kali Bekasi, sebuah epos yang memiliki arti yang sangat dalam bagi Rakyat
Bekasi, menggambarkan keberanian Rakyat Bekasi, sekaligus tragis. Kali Bekasi
merupakan garis demarkasi antara tentara sekutu (Inggris dan NICA) yang
menduduki Jakarta dengan laskar-laskar Republik yang bertahan di seberang kali
di bagian timur. Akibat pendudukan tentara Jepang yang kejam terhadap rakyat
Bekasi, pemuda dan rakyat Bekasi bertindak sendiri dengan menangkap Orang-orang
Jepang atau bahkan siapa saja yang diduga telah bekerja sama dengan Jepang.
Pemuda dan rakyat Bekasi menghentikan setiap kereta api yang melintas Bekasi,
baik yang keluar maupun menuju Jakarta. 19 Oktober 1945, meluncur kereta dari
Jakarta yang mengangkut tawanan Jepang menuju Ciater (dipulangkan melalui
lapangan udara Kalijati), kereta tersebut berhasil lolos dari hadangan,
setibanya di Cikampek dihentikan oleh para pejuang disana dan diperintahkan
kembali ke Jakarta. Rakyat Bekasi sudah menunggu, di Stasiun Bekasi seluruh
gerbong kereta digeledah, ditemukan 90 orang tentara Jepang. Rakyat beringas
ketika ditemukan senjata api milik seorang tawanan (ada ketentuan bahwa Jepang wajib menyerahkan
seluruh persenjataannya), seluruh tawanan ditelanjangi dan ditempatkan di Rumah
Gadai tepi kali Bekasi, yang dijadikan penjara sementara. Awak kereta sudah
mencoba mencegah penggeledahan terhadap tawanan dengan menunjukkan surat
perintah jalanan dari Menteri Subardjo yang ditandatangani Bung Karno, rakyat
Bekasi tidak perduli, kemarahan memuncak karena pengalaman sejarah yang begitu
kejam pada masa pendudukan Jepang. Setelah maghrib, seluruhnya digelandang ke
tepi Kali Bekasi dan dibantai. Kali Bekasi yang jernih memerah darah.
Laksamana Maeda
protes, meminta pertanggung-jawaban R. Soekanto (Kapolri waktu itu) dan meminta
jaminan agar peristiwa seperti itu tidak terjadi lagi. Bunyi surat Maeda “…Kedjadian
ini boleh dibilang beloem terdjadidalam Sedjarah doenia, dan kelakoean sematjam
ini menodai perasaan soetji terhadap jang maha koeasa serta menghina terhadap
perasaan kemanoesiaan. Hal ini dipandang sebagai boekti bahwa bangsa Indonesia dengan
sikap jang demikian itoe tidak mempoenjai pendirian tegoeh di doenia ini. Djika
dibiarkan keadaan semacam itoe mungkin akan meradjalela…etc”. R.
Soekanto mendjawab, sekaligus sebagai pernyataan sikap pemerintah Republik, “… sesoenggoehnja
jang mempoenjai hak mendjalankan hoekoeman menembak mati hanjalah pemerintah
Repoeblik Indonesia, akan tetapi daerah Bekasi itoe seperti toean ketahoei
ialah soeatoe daerah dimana rakjat beloem sama sekali toendoek kepada
pemerintah Repoeblik Indonesia. Seperti dalam soerat itoe telah menjatakan
penjelasan kami atas kedjadian itoe, maka pemerintah Repoeblik Indonesia telah
beroesaha sebaik2-nja oentoek menolong 90 orang serdadoe Jepang itoe,
akan tetapi oesaha itoegagal…”. Akibat Insiden Kali Bekasi, Bung
Karno merasa perlu untuk datang ke Bekasi (25 Oktober 1945), menenangkan rakyat
Bekasi dan menghimbau agar peristiwa serupa itu tidak terulang lagi. Setelah
Presiden memberikan amanatnya, rakyat Bekasi membubarkan diri dengan tenang.
Belanda masih belum
rela melepas kuku’nya di Indonesia, “ndompleng” tentara Sekutu yang secara
resmi membawa tugas sebagai Allied Prisoners of War andInterness/APWI (melucuti
dan memulangkan tentara Jepang, mengevakuasi tawanan perang, menjaga keamanan
dan ketertiban di bekas pendudukan Jepang yang diambil alih). Maksud Belanda
kembali menguasai bumi pertiwi ini, membakar kemarahan Bangsa Indonesia, pemuda
Bekasi berang, semboyan “Sekali Merdeka, Tetap Merdeka”,
“Rawe2 Rantas, Malang2 Poetoeng”, “Bekasi Pantang Moendoer”, serta
salam pekikan “MERDEKA” membahana di atmosfir Bekasi.
Beribu-ribu rakyat Bekasi bersenjatakan bambu runcing, golok, keris dan
beberapa pucuk senjata api hasil pampasan, rakyat Bekasi tetap menerobos
barikade, menyerbu Jakarta, Lapangan Ikada. Membuktikan kepada dunia, bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia telah berdiri dan ada! (Rapat besar Ikada
tidak berlangsung mulus, Bung Karno hanya meminta rakyat untuk tetap tenang dan
kembali ke rumah masing-masing).
Peristiwa Bekasi
Lautan Api, juga merupakan sebuah bukti catatan Sejarah
Perjuangan Rakyat Bekasi, yang banyak merenggut jiwa-jiwa patriotisme dalam
mempertahankan kemerdekaan. Bermula dari jatuhnya pesawat Dakota Inggris diRawa
Gatel, Cakung (wilayah Bekasi ketika itu). Rakyat mengepung pesawat,
seluruh awak pesawat dan penumpang (4 orang awak pesawat berkebangsaan Inggris
dan 22 berkebangsaan India-Sykh, orang Bekasi nyebutnya “tentara
ubel-ubel”), ditangkap dilucuti senjata serta pakaiannya, dibawa ke Markas
TKR Ujung Menteng (pimpinan Umar Effendi dan Muhammad
Amri), selanjutnya ditahan di tangsi polisi Bekasi.
Sekutu kemudian
mengirimkan maklumat, kepada pejuang Bekasi (diterima Dan TKR Yon V,
Mayor Sambas Atmadinata), isinya : “…segera seluruh
tentara Inggris yang ditawan di Bekasi agar dikembalikan kepada pihak Inggris.
Apabila tidak dikembalikan, maka Bekasi akan
dibumi-hanguskan…”, Rakyat dan Pemuda Bekasi menolak isi maklumat
tersebut (gue kagak takut, coy…!) tiga hari kemudian seluruh tawanan dibunuh.
Inggris mengirimkan
Batalyon Infantri dan Artileri’nya (tentara Punjab ke-1/16, Skuadron Kavaleri
FAVO ke-11, Pasukan Perintis ke-13, Pasukan Resimen Medan ke-37 dan Detasemen
Kompi Medan ke-69), bergerak dari Jakarta menuju Cakung, melewati garis
demarkasi dan memasuki wilayah Kranji. Pemuda dan Rakyat Bekasi melakukan
penghadangan di Kp. Rawa Pasung, pintu lintasan kereta ditutup, rakyat Bekasi
bersembunyi disemak-semak sekitarnya. Sekutu berhenti, disangkanya ada kereta
yang akan melintas, saat lengah, rakyat Bekasi muncul dari semak-semak
melumpuhkan pasukan sekutu yang membawa perlengkapan perang modern, bahkan
pemuda Bekasi tanpa menghiraukan nyawanya, dengan gagah berani, naik keatas
Panser. Pertempuran jarak dekat ini, membuat tentara Sekutu “keder”, mereka
menarik mundur pasukan.
Sekutu kembali
menyerang, dengan kekuatan lebih besar, puluhan truk berisi serdadu Inggris dan
India (prajurit Punjab dalam dunia militer, terkenal dengan belati “kukri”nya)
puluhan panser dan pesawat terbang menyerbu Bekasi. Rakyat Bekasi merubah
taktik pertempuran, pusat kota dikosongkan, membentuk pasukan-pasukan kecil
yang gagah berani, hit and run dijalankan, gerilya kota dimulai…, karena takut
dan tidak menguasai wilayah, serdadu Inggris selalu berkelompok dalam pasukan
jumlah besar.
Ketika pasukan Inggris
sampai di tangsi Bekasi, mereka tidak menemukan seorangpun pejuang Bekasi,
hanya menemukan mayat teman-temannya yang telah membusuk dan sebagian dikubur
di belakang Tangsi Polisi Bekasi. Akibat kejadian itu, Sekutu mulai melakukan
provokasi dengan melakukan penyerangan secara sporadis, pesawat udara dan
pasukan darat melakukan serangan membabi buta, pesawat udara menggunakan
bom-bom pembakar, pasukan darat membakari rumah-rumah penduduk.
Kampung Dua Ratus terbakar, kemudian meluas ke Kayuringin, Teluk
Buyung, Teluk Angsan dan Pasar Bekasi. Bekasi Timur dan Barat berubah
seperti “api unggun raksasa”, langit Bekasi menghitam,
dipenuhi asal mengepul ke udara, hitam pekat. Pembakaran berlangsung hampir
satu malam penuh, paginya hanya menyisakan asap dan debu, puing-puing
berserakan. Ibu-ibu, anak-anak dan orang tua berteriak histeris menyaksikan
ulah tentara Sekutu. Masyarakat Bekasi mengungsi, tidak dapat berbuat banyak
untuk menyelamatkan harta bendanya.
Peristiwa ini menjadi
berita besar bagi pers Nasional maupun Internasional, pers internasional
mengutuk tindakan Inggris yang mengibaratkan dengan tindakan Nazi Jerman yang
membakar habis kota Lydice-Cekoslowakia dalam Perang Dunia II.Perdana
Menteri Sjahrir menyatakan “…jika Inggris menggunakan kekerasan
untuk mengembalikan keamanan di Djawa, maka semua orang Indonesia akan melawan
sebisa dia. Merdeka!!…”. Rosihan Anwar, yang sedang
melakukan perjalanan ke Yogyakarta, pagi harinya, menyaksikan Bekasi dari
sela-sela jendela kereta, menggambarkan…”Waktoe kita melewati Bekasi
nampaklah di tepi djalan roemah2 habis terbakar menjadi deboe sebagai akibat
kekerasan Inggris. Pemandangan amat menjedihkan, mengingatkan kita bahwa disana
ada djedjak peperangan. Akan tetapi djoestroe dekat reroentoehan roemah itoe
kita melihat perempoean toeroen ke sawah memasoekan benih-benih ke dalam
loempoer. Pertentangan ini mengharoekan djiwa moesafir, sebab didekat
reroentoehan moentjoel dengan tabahnya oesaha menghidoepkan. Itoelah bangsa
Indonesia penoeh vitaliteit, mempunyai banjak kegembiraan dan tenaga hidoep
ber-limpah2…”
Bekasi, terbentuknya
Kabupaten Bekasi…
Berdasarkan aturan
hukum pada saat itu dan melihat kegigihan rakyat memperjuangkan aspirasinya
untuk membentuk suatu pemerintahan tersendiri, setingkat Kabupaten, mulailah
para tokoh dan rakyat Bekasi berjuang agar pembentukan tersebut dapat
terealisasikan. Awal tahun 1950, para pemimpin rakyat diantaranya R.
Soepardi, KH Noer Alie, Namin, Aminudin dan Marzuki Urmainimembentuk “Panitia
Amanat Rakyat Bekasi”, dan mengadakan rapat raksasa di
Alun-alun Bekasi (17 Januari1950), yang dihadiri oleh ribuan rakyat yang datang
dari pelbagai pelosok Bekasi, dihasilkan beberapa tuntutan yang terhimpun dalam“Resolusi
17 Januari”, yang antara lain menuntut agar nama Kabupaten Jatinegara
dirubah menjadi Kabupaten Bekasi, tuntutan itu ditandatangani oleh Wedana
Bekasi (A. Sirad) dan Asisten Wedana Bekasi (R. Harun).
Usulan tersebut
akhirnya mendapat tanggapan dari Mohammad Hatta, dan menyetujui penggantian
nama “Kabupaten Jatinegara” menjadi “Kabupaten Bekasi”, persetujuan ini semakin
kuat dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 14 Tahun 1950 yang ditetapkan
tanggal 8 Agustus 1950 tentang : Pembentukan Kabupaten-kabupaten di lingkungan
Propinsi Jawa Barat, serta memperhatikan Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1950
tentang berlakunya undang-undang tersebut, maka Kabupaten Bekasi secara resmi
terbentuk pada tanggal 15 Agustus 1950, dan berhak mengatur rumah tangganya
sendiri, sebagaimana diatur oleh Undang-undang Pemerintah Daerah pada saat itu,
yaitu UU No.22 Tahun 1948. Selanjutnya, ditetapkan oleh Pemerintah Daerah
Tingkat II Kabupaten
Bekasi, bahwa tanggal 15 Agustus 1950 sebagai HARI
JADI KABUPATEN
BEKASI, dan R. Suhandan Umar (sebelumnya Bupati
Jatinegara) sebagai Bupati Bekasi pertama, kedudukan kantor
Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi tetap di Jatinegara (sekarang Markas Kodim
0505 Jayakarta, Jakarta).
Penutup Tulisan
Dalam perjalanannya
kemudian, Bekasi mengalami perkembangan yang sangat pesat, menjadi
kawasan industri yang men”dunia”, kawasan industri yang tidak hanya berisi
pabrik-pabrik, tetapi juga didalamnya bercokol juga plaza, mal-mal, perumahan,
lapangan golf, pusat bisnis bahkan sekolah-sekolah unggulan, dari sejak
children play group sampai perguruan tinggi bertaraf nasional maupun
international, yang mungkin pada jaman ‘Entong Tolo’ dulu, tak
akan pernah bisa kita bayangkan.
Di sisi lain,
Kabupaten Bekasi juga kini telah melahirkan seorang putra yang cantik nan
rupawan, montok dan moleg, sexy dan mumpuni, bak pemain sinetron yang lagi
digandrungi, Kota Bekasi. Kita, masyarakat Kabupaten Bekasi, orang
tua’nya, selalu berdoa semoga putera ini sehat, pinter, berguna bagi nusa,
bangsa, agama dan bangsanya, dan tidak menjadi Malin Kundang bagi orang
tuanya….
Dengan terbentuknya Kota
Bekasi, kita harus mampu menggali nilai-nilai kesejarahan yang ada di wilayah
kabupaten (tanpa harus meninggalkan kebersamaan sejarah dengan kota), untuk
dapat meningkatkan rasa kebanggaan dan rasa memiliki yang tinggi, sebagai warga
masyarakat Kabupaten.