PERKAWINAN ANTAR PEMELUK AGAMA YANG BERBEDA
Al-Quran juga secara tegas melarang perkawinan dengan orang musyrik seperti Firman-Nya dalam surat Al-Baqarah (2):
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik
sebelum mereka beriman.
Larangan serupa juga ditujukan kepada para wali agar tidak menikahkan perempuan-perempuan yang berada dalam perwaliannya kepada laki-laki musyrik.
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman
(QS A1-Baqarah [2]: 221).
Menurut sementara ulama walaupun ada ayat yang membolehkan perkawinan pria Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab (penganut agama Yahudi dan Kristen), yakni surat Al-Maidah (51: 5 yang menyatakan,
Dan (dihalalkan pula) bagi kamu (mengawini)
wanita-wanita terhormat di antara wanita-wanita yang
beriman, dan wanita-wanita yang terhormat di antara
orang-orang yang dianugerahi Kitab (suci) (QS
Al-Ma-idah [5]: 5).
Tetapi izin tersebut telah digugurkan oleh surat Al-Baqarah ayat 221 di atas. Sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Umar, bahkan mengatakan:
"Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dan
kemusyrikan seseorang yang menyatakan bahwa Tuhannya
adaLah Isa atau salah seorang dari hamba Allah."
Pendapat ini tidak didukung oleh mayoritas sahabat Nabi dan ulama. Mereka tetap berpegang kepada teks ayat yang membolehkan perkawinan semacam itu, dan menyatakan bahwa walaupun aqidah Ketuhanan ajaran Yahudi dan Kristen tidak sepenuhnya sama dengan aqidah Islam, tetapi Al-Quran tidak menamai mereka yang menganut Kristen dan Yahudi sebagai orang-orang musyrik. Firman Allah dalam surat A1-Bayyinah (98): 1 dijadikan salah satu alasannya.
Orang kafir yang terdiri dari Ahl Al-Kitab dan
Al-Musyrikin (menyatakan bahwa) mereka tidak akan
meninggalkan agamanya sebelum datang kepada mereka
bukti yang nyata (QS. Al-Bayyinah [98]: 1).
Ayat ini menjadikan orang kafir terbagi dalam dua kelompok berbeda, yaitu Ahl Al-Kitab dan Al-Musyrikin. Perbedaan ini dipahami dari kata "wa" yang diterjemahkan "dan", yang oleh pakar bahasa dinyatakan sebagai mengandung makna "menghimpun dua hal yang berbeda."
Larangan mengawinkan perempuan Muslimah dengan pria non-Muslim --termasuk pria Ahl Al-Kitab-- diisyaratkan oleh Al-Quran. Isyarat ini dipahami dari redaksi surat Al-Baqarah (2): 221 di atas, yang hanya berbicara tentang bolehnya perkawinan pria Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab, dan sedikit pun tidak menyinggung sebaliknya. Sehingga, seandainya pernikahan semacam itu dibolehkan, maka pasti ayat tersebut akan menegaskannya.
Larangan perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda itu agaknya dilatarbelakangi oleh harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarga. Perkawinan baru akan langgeng dan tenteram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antar suami dan istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya, atau bahkan perbedaan tingkat pendidikan antara suami dan istri pun tidak jarang mengakibatkan kegagalan perkawinan.
Memang ayat itu membolehkan perkawinan antara pria Muslim dan perempuan Utul-Kitab (Ahl Al-Kitab), tetapi kebolehan itu bukan saja sebagai jalan keluar dari kebutuhan mendesak ketika itu, tetapi juga karena seorang Muslim mengakui bahwa Isa a.s. adalah Nabi Allah pembawa ajaran agama. Sehingga, pria yang biasanya lebih kuat dari wanita --jika beragama Islam-- dapat mentoleransi dan mempersilakan Ahl Al-Kitab menganut dan
melaksanakan syariat agamanya,
Bagi kamu agamamu dan bagiku agamaku (QS Al-Kafirun
[109]: 6).
Ini berbeda dengan Ahl Al-Kitab yang tidak mengakui Muhammad Saw. sebagai nabi.
Di sisi lain harus pula dicatat bahwa para ulama yang membolehkan perkawinan pria Muslim dengan Ahl Al-Kitab, juga berbeda pendapat tentang makna Ahl Al-Kitab dalam ayat ini, serta keberlakuan hukum tersebut hingga kini. Walaupun penulis cenderung berpendapat bahwa ayat tersebut tetap berlaku hingga kini terhadap semua penganut ajaran Yahudi dan Kristen, namun yang perlu diingat bahwa Ahl Al-Kitab yang boleh dikawini itu, adalah yang diungkapkan dalam redaksi ayat tersebut sebagai "wal muhshanat minal ladzina utul kitab". Kata al-muhshnnat di sini berarti wanita-wanita terhormat yang selalu menjaga kesuciannya, dan yang sangat menghormati dan mengagungkan Kitab Suci. Makna terakhir ini dipahami dari penggunaan kata utuw yang selalu digunakan Al-Quran untuk menjelaskan pemberian yang agung lagi terhormat. [1] Itu sebabnya ayat tersebut tidak menggunakan istilah Ahl Al-Kitab, sebagaimana dalam ayat-ayat lain, ketika berbicara tentang penganut ajaran Yahudi dan Kristen.
Pada akhirnya betapapun berbeda pendapat ulama tentang boleh tidaknya perkawinan Muslim dengan wanita-wanita Ahl Al-Kitab, namun seperti tulis Mahmud Syaltut dalam kumpulan fatwanya.[2]
Pendapat para ulama yang membolehkan itu berdasarkan
kaidah syar'iyah yang normal, yaitu bahwa suami
memiliki tanggung jawab kepemimpinan terhadap istri,
serta memiliki wewenang dan fungsi pengarahan terhadap
keluarga dan anak-anak. Adalah kewajiban seorang suami
Muslim --berdasarkan hak kepemimpinan yang
disandangnya-- untuk mendidik anak-anak dan keluarganya
dengan akhlak Islam. Laki-laki diperbolehkan mengawini
non-Muslimah yang Ahl Al-Kitab, agar perkawinan itu
membawa misi kasih sayang dan harmonisme, sehingga
terkikis dari hati istrinya rasa tidak senangnya
terhadap Islam. Dan dengan perlakuan suaminya yang baik
yang berbeda agama dengannya itu, sang istri dapat
lebih mengenal keindahan dan keutamaan agama Islam
secara amaliah praktis, sehingga ia mendapatkan dari
dampak perlakuan baik itu ketenangan, kebebasan
beragama, serta hak-haknya yang sempurna, lagi tidak
kurang sebaik istri.
Selanjutnya Mahmud Syaltut menegaskan bahwa kalau apa yang dilukiskan di atas tidak terpenuhi --sebagaimana sering terjadi pada masa kini-- maka ulama sepakat untuk tidak membenarkan perkawinan itu, termasuk oleh mereka yang tadinya membolehkan.
Kalau seorang wanita Muslim dilarang kawin dengan non-Muslim karena kekhawatiran akan terpengaruh atau berada di bawah kekuasaan yang berlainan agama dengannya, maka demikian pula sebaliknya. Perkawinan seorang pria Muslim, dengan wanita Ahl Al-Kitab harus pula tidak dibenarkan jika dikhawatirkan ia atau anak-anaknya akan terpengaruh oleh nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.