PENGGUGURAN KANDUNGAN YANG DIDASARKAN (1/2)
PADA DIAGNOSIS PENYAKIT JANIN [1]
Dr. Yusuf Qardhawi
Segala puji kepunyaan Allah. Shalawat dan salam semoga
tercurahkan kepada Rasulullah. Wa ba'du.
Diantara kewajiban ahli fiqih muslim ialah berhenti di hadapan
beberapa persoalan yang dihadapinya untuk menetapkan beberapa
hakikat penting, antara lain:
Bahwa kehidupan janin (anak dalam kandungan) menurut pandangan
syariat Islam merupakan kehidupan yang harus dihormati, dengan
menganggapnya sebagai suatu wujud yang hidup yang wajib
dijaga, sehingga syariat memperbolehkan wanita hamil untuk
berbuka puasa (tidak berpuasa) pada bulan Ramadhan, bahkan
kadang-kadang diwajibkan berbuka jika ia khawatir akan
keselamatan kandungannya. Karena itu syariat Islam
mengharamkan tindakan melampaui batas terhadapnya, meskipun
yang melakukan ayah atau ibunya sendiri yang telah
mengandungnya dengan susah payah. Bahkan terhadap kehamilan
yang haram --yang dilakukan dengan jalan perzinaan-- janinnya
tetap tidak boleh digugurkan, karena ia merupakan manusia
hidup yang tidak berdosa:
"... Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa
orang lain ..." (al-Isra': 15)
Selain itu, kita juga mengetahui bahwa syara' mewajibkan
penundaan pelaksanaan hukum qishash terhadap wanita hamil yang
dijatuhi jenis hukuman ini demi menjaga janinnya, sebagaimana
kisah wanita al-Ghamidiyah yang diriwayatkan dalam kitab
sahih. Dalam hal ini syara' memberi jalan kepada waliyul-amri
(pihak pemerintah) untuk menghukum wanita tersebut, tetapi
tidak memberi jalan untuk menghukum janin yang ada di dalam
kandungannya.
Seperti kita lihat juga bahwa syara' mewajibkan membayar diat
(denda) secara sempurna kepada seseorang yang memukul perut
wanita yang hamil, lalu dia melahirkan anaknya dalam keadaan
hidup, namun akhirnya mati karena akibat pukulan tadi. Ibnul
Mundzir mengutip kesepakatan ahli ilmu mengenai masalah ini.2
Sedangkan jika bayi itu lahir dalam keadaan mati, maka dia
tetap dikenakan denda karena kelengahannya (ghirrah), sebesar
seperdua puluh diat.
Kita juga melihat bahwa syara' mewajibkan si pemukul membayar
kafarat --disamping diat dan ghirrah-- yaitu memerdekakan
seorang budak yang beriman, jika tidak dapat maka ia harus
berpuasa dua bulan berturut-turut. Bahkan hal itu diwajibkan
atasnya, baik janin itu hidup atau mati.
Ibnu Qudamah berkata, "Inilah pendapat kebanyakan ahli ilmu,
dan pendapat ini juga diriwayatkan dari Umar r.a.. Mereka
berdalil dengan firman Allah:
"... dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena
tersalah (tidak sengaja) hendaklah ia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat
yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu),
kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah.
Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu,
padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh)
memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si
terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai)
antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh)
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yangmukmin.
Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia
(si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai
cara tobat kepada Allah; dan adalah Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (an-Nisa': 92)
Mereka berkata, "Apabila wanita hamil meminum obat untuk
menggugurkan kandungannya, maka ia wajib membayar denda, tidak
boleh mewarisi sesuatu daripadanya (sebab orang yang membunuh
tidak boleh mewarisi sesuatu dari yang dibunuh), dan wajib
memerdekakan seorang budak. Denda tersebut hendaklah diberikan
kepada ahli waris si janin. Semua sanksi itu dikenakan padanya
karena ia telah melakukan perbuatan jahat yaitu menggugurkan
janin. Sedangkan memerdekakan budak merupakan kafarat bagi
tindak kejahatannya. Demikian pula jika yang menggugurkan
janin itu ayahnya maka si ayah harus membayar denda, tidak
boleh mewarisi sesuatu daripadanya, dan harus memerdekakan
budak."3
Jika tidak mendapatkan budak (atau tidak mampu memerdekakan
budak), maka ia harus berpuasa selama dua bulan
berturut-turut, sebagai cara tobat kepada Allah SWT.
Lebih dari itu adalah perkataan Ibnu Hazm dalam al-Muhalla
mengenai pembunuhan janin setelah ditiupkannya ruh, yakni
setelah kandungan berusia seratus dua puluh hari, sebagaimana
disebutkan dalam hadits sahih. Ibnu Hazm menganggap tindakan
ini sebagai tindak kejahatan pembunuhan dengan sengaja yang
mewajibkan pelakunya menanggung segala risiko, seperti hukum
qishash dan lain-lainnya. Beliau berkata:
"Jika ada orang bertanya, 'Bagaimana pendapat Anda mengenai
seorang perempuan yang sengaja membunuh janinnya setelah
kandungannya berusia seratus dua puluh hari, atau orang lain
yang membunuhnya dengan memukul (atau tindakan apa pun)
terhadap perut si perempuan itu untuk membunuh si janin?' Kami
jawab bahwa sebagai hukumannya wajib dikenakan hukum qishash,
tidak boleh tidak, dan ia tidak berkewajiban membayar denda.
Kecuali jika dimaafkan, maka dia wajib membayar ghirrah atau
denda saja karena itu merupakan diat, tetapi tidak wajib
membayar kafarat karena hal itu merupakan pembunuhan dengan
sengaja. Dia dikenakan hukuman qishash karena telah membunuh
suatu jiwa (manusia) yang beriman dengan sengaja, maka
menghilangkan (membunuh) jiwa harus dibalas dengan dibunuh
pula. Meski demikian, keluarga si terbunuh mempunyai dua
alternatif, menuntut hukum qishash atau diat, sebagaimana
hukum yang ditetapkan Rasulullah saw. terhadap orang yang
membunuh orang mukmin. Wa billahit taufiq."
Mengenai wanita yang meminum obat untuk menggugurkan
kandungannya, Ibnu Hazm berkata:
"Jika anak itu belum ditiupkan ruh padanya, maka dia (ibu
tersebut) harus membayar ghirrah. Tetapi jika sudah ditiupkan
ruh padanya --bila wanita itu tidak sengaja membunuhnya-- maka
dia terkena ghirrah dan kafarat. Sedangkan jika dia sengaja
membunuhnya, maka dia dijatuhi hukum qishash atau membayar
tebusan dengan hartanya sendiri."4
Janin yang telah ditiupkan ruh padanya, oleh Ibnu Hazm
dianggap sebagai sosok manusia, sehingga beliau mewajibkan
mengeluarkan zakat fitrah untuknya. Sedangkan golongan
Hanabilah hanya memandangnya mustahab, bukan wajib.
Semua itu menunjukkan kepada kita betapa perhatian syariat
terhadap janin, dan betapa ia menekankan penghormatan
kepadanya, khususnya setelah sampai pada tahap yang oleh
hadits disebut sebagai tahapan an-nafkhu fir-ruh (peniupan
ruh). Dan ini merupakan perkara gaib yang harus kita terima
begitu saja, asalkan riwayatnya sah, dan tidak usah kita
memperpanjang pembicaraan tentang hakikatnya, Allah berfirman:
"... dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit." (al-Isra': 85)
Saya kira, hal itu bukan semata-mata kehidupan yang dikenal
seperti kita ini, meskipun para pensyarah dan fuqaha
memahaminya demikian. Hakikat yang ditetapkan oleh ilmu
pengetahuan sekarang secara meyakinkan ialah bahwa kehidupan
telah terjadi sebelum itu, hanya saja bukan kehidupan manusia
yang diistilahkan oleh hadits dengan "peniupan ruh." Hal ini
ditunjuki oleh isyarat Al- Qur'an:
"Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam
(tubuh)-nya ruh (ciptaan)-Nya ..." (as-Sajdah: 9)
Tetapi diantara hadits-hadits sahih terdapat hadits yang
tampaknya bertentangan dengan hadits Ibnu Mas'ud yang
menyebutkan diutusnya malaikat untuk meniup ruh setelah usia
kandungan melampaui masa tiga kali empat puluh hari (120
hari).
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari hadits
Hudzaifah bin Usaid, ia berkata: "Aku mendengar Rasulullah
saw. bersabda:
"Apabila nutfah telah berusia empat puluh dua malam,
maka Allah mengutus malaikat, lalu dibuatkan bentuknya,
diciptakan pendengarannya, penglihatannya, kulitnya,
dagingnya, dan tulangnya. Kemudian malaikat bertanya,
ra Rabbi, laki-laki ataukah perempuan?' Lalu Rabb-mu
menentukan sesuai dengan kehendak-Nya, dan malaikat
menulisnya, kemudian dia (malaikat) bertanya, Ya Rabbi,
bagaimana ajalnya?' Lalu Rabb-mu menetapkan sesuai
dengan yang dikehendaki-Nya, dan malaikat menulisnya.
Kemudian ia bertanya, 'Ya Rabbi, bagaimana rezekinya?'
Lalu Rabb-mu menentukan sesuai dengan yang
dikehendaki-Nya, dan malaikat menulisnya. Kemudian
malaikat itu keluar dengan membawa lembaran catatannya,
maka ia tidak menambah dan tidak mengurangi apa yang
diperintahkan itu."5
Hadits ini menjelaskan diutusnya malaikat dan dibuatnya bentuk
bagi nutfah setelah berusia enam minggu (empat puluh dua
hari)6 bukan setelah berusia seratus dua puluh hari
sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Mas'ud yang terkenal
itu. Sebagian ulama mengompromikan kedua hadits tersebut
dengan mengatakan bahwa malaikat itu diutus beberapa kali,
pertama pada waktu nutfah berusia empat puluh hari, dan kali
lain pada waktu berusia empat puluh kali tiga hari (120 hari)
untuk meniupkan ruh.7
Karena itu para fuqaha telah sepakat akan haramnya
menggugurkan kandungan setelah ditiupkannya ruh padanya. Tidak
ada seorang pun yang menentang ketetapan ini, baik dari
kalangan salaf maupun khalaf.8
Adapun pada tahap sebelum ditiupkannya ruh, maka diantara
fuqaha ada yang memperbolehkan menggugurkan kandungan sebelum
ditiupkannya ruh itu, sebagian saudara kita yang ahli
kedokteran dan anatomi mengatakan, "Sesungguhnya hukum yang
ditetapkan para ulama yang terhormat itu didasarkan atas
pengetahuan mereka pada waktu itu. Andaikata mereka mengetahui
apa yang kita ketahui sekarang mengenai wujud hidup yang
membawa ciri-ciri keturunan (gen) kedua orang tuanya dan
keluarganya serta jenisnya, niscaya mereka akan mengubah hukum
dan fatwa mereka karena mengikuti perubahan 'illat (sebab
hukum), karena hukum itu berputar menurut 'illat-nya, pada
waktu ada dan tidak adanya 'illat."
Diantara kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya ialah bahwa
di kalangan ahli kandungan dan anatomi sendiri terdapat
perbedaan pendapat --sebagaimana halnya para fuqaha-- di dalam
menetapkan kehidupan janin pada tahap pertama: sebelum berusia
42 hari dan sebelum 120 hari. Perbedaan diantara mereka ini
juga memperkokoh perbedaan pendapat para fuqaha mengenai janin
sebelum berusia 40 hari dan sebelum 120 hari.
Barangkali ini merupakan rahmat Allah kepada manusia agar
udzur dan darurat itu mempunyai tempat.
Maka tidak apalah apabila saya sebutkan sebagian dari
perkataan fuqaha mengenai persoalan ini:
Syekhul Islam al-Hafizh Ibnu Hajar didalam Fathul-Bari
menyinggung mengenai pengguguran kandungan --setelah
membicarakan secara panjang lebar mengenai masalah 'azl
(mencabut zakar untuk menumpahkan sperma di luar vagina pada
waktu ejakulasi) serta perbedaan pendapat ulama tentang boleh
dan tidaknya melakukan hal itu, yang pada akhirnya beliau
cenderung memperbolehkannya karena tidak kuatnya dalil pihak
yang melarangnya. Beliau berkata:
"Dan terlepas dari hukum 'azl ialah hukum wanita menggunakan
obat untuk menggugurkan (merusak) nutfah (embrio) sebelum
ditiupkannya ruh. Barangsiapa yang mengatakan hal ini
terlarang, maka itulah yang lebih layak; dan orang yang
memperbolehkannya, maka hal itu dapat disamakan dengan 'azl.
Tetapi kedua kasus ini dapat juga dibedakan, bahwa tindakan
perusakan nutfah itu lebih berat, karena 'azl itu dilakukan
sebelum terjadinya sebab (kehidupan), sedangkan perusakan
nutfah itu dilakukan setelah terjadinya sebab kehidupan
(anak)."9
Sementara itu, diantara fuqaha ada yang membedakan antara
kehamilan yang berusia kurang dari empat puluh hari dan yang
berusia lebih dari empat puluh hari. Lalu mereka
memperbolehkan menggugurkannya bila belum berusia empat puluh
hari, dan melarangnya bila usianya telah lebih dari empat
puluh hari. Barangkali yang menjadi pangkal perbedaan pendapat
mereka adalah hadits Muslim yang saya sebutkan di atas.
Didalam kitab Nihayah al-Muhtaj, yang termasuk kitab mazhab
Syafi'i, disebutkan dua macam pendapat para ahli ilmu mengenai
nutfah sebelum genap empat puluh hari:
"Ada yang mengatakan bahwa hal itu tidak dapat dihukumi
sebagai pengguguran dan pembunuhan. Ada pula yang mengatakan
bahwa nutfah harus dihormati, tidak boleh dirusak, dan tidak
boleh melakukan upaya untuk mengeluarkannya setelah ia menetap
di dalam rahim (uterus)."10
Diantara fuqaha ada pula yang membedakan antara tahap sebelum
penciptaan janin dan tahap sesudah penciptaan (pembentukan).
Lalu mereka memperbolehkan aborsi (pengguguran) sebelum
pembentukan dan melarangnya setelah pembentukan.
Didalam an-Nawadir, dari kitab mazhab Hanafi, disebutkan,
"Seorang wanita yang menelan obat untuk menggugurkan
kandungannya, tidaklah berdosa asalkan belum jelas
bentuknya."11
Didalam kitab-kitab mereka juga mereka ajukan pertanyaan:
bolehkah menggugurkan kandungan setelah terjadinya kehamilan?
Mereka menjawab: Boleh, asalkan belum berbentuk.
Kemudian di tempat lain mereka berkata, "Tidaklah terjadi
pembentukan (penciptaan) melainkan setelah kandungan itu
berusia seratus dua puluh hari. "
----------------------- (Bagian 1/2, 2/2)
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
PENGGUGURAN KANDUNGAN YANG DIDASARKAN (2/2)
PADA DIAGNOSIS PENYAKIT JANIN [1]
Dr. Yusuf Qardhawi
Muhaqqiq (ulama ahli menetapkan hukum) mazhab Hanafi, al-Kamal
bin al-Hammam, berkata, "Ini berarti bahwa yang mereka maksud
dengan penciptaan atau pembentukan itu ialah ditiupkannya ruh,
sebab jika tidak demikian berarti keliru, karena pembentukan
itu telah dapat disaksikan sebelum waktu itu."12
Perkataan al-Allamah (al-Kamal) ini adalah benar, diakui oleh
ilmu pengetahuan sekarang.
Sedangkan pernyataan mereka yang mutlak itu memberi pengertian
bahwa kebolehan menggugurkan kandungan itu tidak bergantung
pada izin suami. Hal ini dinyatakan di dalam kitab ad-Durrul
Mukhtar: "Mereka berkata, 'Diperbolehkan menggugurkan
kandungan sebelum berusia empat bulan, meskipun tanpa izin
suami.'"
Namun demikian, diantara ulama Hanafiyah ada yang menolak
hukum yang memperbolehkan pengguguran secara mutlak itu,
mereka berkata, "Saya tidak mengatakan halal, karena orang
yang sedang ihram saja apabila memecahkan telur buruan itu
harus menggantinya, karena itulah hukum asal mengenai
pembunuhan. Kalau orang yang melakukan ihram saja dikenakan
hukuman pembalasan, maka tidak kurang dosanya bagi orang yang
menggugurkan kandungan tanpa udzur."
Diantara mereka ada pula yang mengatakan makruh, karena air
(sperma) setelah masuk ke rahim belumlah hidup tapi mempunyai
hukum sebagai manusia hidup, seperti halnya telur binatang
buruan pada waktu ihram. Karena itu ahli tahqiq mereka
berkata, "Maka kebolehan menggugurkan kandungan itu harus
diartikan karena dalam keadaan udzur, atau dengan pengertian
bahwa ia tidak berdosa seperti dosanya membunuh."13
Akan tetapi, kebanyakan ulama menentang pendapat ini dan tidak
memperbolehkan pengguguran, meskipun sebelum ditiupkannya ruh.
Hal ini disebabkan adanya segolongan ulama yang melarang 'azl
dan mereka anggap hal ini sebagai "pembunuhan terselubung"
sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits. Mereka beralasan
bahwa 'azl berarti menghalangi sebab-sebab kehidupan untuk
menuju realitas atau perwujudannya. Karena itu mereka melarang
menggugurkan kandungan dan mengharamkannya dengan jalan qiyas
aulawi (maksudnya, kalau 'azl saja terlarang, maka pengguguran
lebih terlarang lagi), karena sebab-sebab kehidupan disini
telah terjadi dengan bertemunya sperma laki-laki dengan sel
telur perempuan dan terjadinya pembuahan yang menimbulkan
wujud makhluk baru yang membawa sifat-sifat keturunan yang
hanya Allah yang mengetahuinya.
Tetapi ada juga ulama-ulama yang memperbolehkan 'azl karena
alasan-alasan yang berhubungan dengan ibu atau anaknya (yang
baru dilahirkan), atau bisa juga karena pertimbangan keluarga
untuk kebaikan pendidikan anak-anak, atau lainnya. Namun
demikian, mereka tidak memperbolehkan aborsi (pengguguran) dan
menyamakannya dengan pembunuhan terselubung, meskipun tingkat
kejahatannya berbeda.
Diantara yang berpendapat begitu ialah Imam al-Ghazali. Saya
lihat beliau --meskipun beliau memperbolehkan 'azl dengan
alasan-alasan yang akurat menurut beliau-- membedakan dengan
jelas antara menghalangi kehamilan dengan 'azl dan
menggugurkan kandungan setelah terwujud, dengan mengatakan:
"Hal ini --mencegah kehamilan dengan 'azl-- tidak sama dengan
pengguguran dan pembunuhan terselubung; sebab yang demikian
(pengguguran dan pembunuhan terselubung) merupakan tindak
kejahatan terhadap suatu wujud yang telah ada, dan wujud itu
mempunyai beberapa tingkatan. Tingkatan yang pertama ialah
masuknya nutfah (sperma) ke dalam rahim, dan bercampur dengan
air (mani) perempuan (ovum), serta siap untuk menerima
kehidupan. Merusak keadaan ini merupakan suatu tindak
kejahatan. Jika telah menjadi segumpal darah atau daging, maka
kejahatan terhadapnya lebih buruk lagi tingkatannya. Jika
telah ditiupkan ruh padanya dan telah sempurna kejadiannya,
maka tingkat kejahatannya bertambah tinggi pula. Dan sebagai
puncak kejahatan terhadapnya ialah membunuhnya setelah ia
lahir dalam keadaan hidup."14
Perlu diperhatikan, bahwa Imam al-Ghazali rahimahullah
menganggap pengguguran sebagai tindak kejahatan terhadap wujud
manusia yang telah ada, tetapi beliau juga menganggap
pertemuan sperma dengan ovum sebagai "siap menerima
kehidupan."
Nah, bagaimanakah persepsi beliau seandainya beliau tahu apa
yang kita ketahui sekarang bahwa kehidupan telah terjadi
semenjak bertemunya sel sperma laki-laki dengan sel telur
wanita?
Karena itu saya katakan, "Pada dasarnya hukum aborsi adalah
haram, meskipun keharamannya bertingkat-tingkat sesuai dengan
perkembangan kehidupan janin."
Pada usia empat puluh hari pertama tingkat keharamannya paling
ringan, bahkan kadang-kadang boleh digugurkan karena udzur
yang muktabar (akurat); dan setelah kandungan berusia diatas
empat puluh hari maka keharaman menggugurkannya semakin kuat,
karena itu tidak boleh digugurkan kecuali karena udzur yang
lebih kuat lagi menurut ukuran yang ditetapkan ahli fiqih.
Keharaman itu bertambah kuat dan berlipat ganda setelah
kehamilan berusia seratus dua puluh hari, yang oleh hadits
diistilahkan telah memasuki tahap "peniupan ruh."
Dalam hal ini tidak diperbolehkan menggugurkannya kecuali
dalam keadaan benar-benar sangat darurat, dengan syarat
kedaruratan yang pasti, bukan sekadar persangkaan. Maka jika
sudah pasti, sesuatu yang diperbolehkan karena darurat itu
harus diukur dengan kadar kedaruratannya.
Menurut pendapat saya, kedaruratan disini hanya tampak dalam
satu bentuk saja, yaitu keberadaan janin apabila dibiarkan
akan mengancam kehidupan si ibu, karena ibu merupakan
pangkal/asal kehidupan janin, sedangkan janin sebagai fara'
(cabang). Maka tidak boleh mengorbankan yang asal (pokok) demi
kepentingan cabang. Logika ini disamping sesuai dengan syara'
juga cocok dengan akhlak etika kedokteran, dan undang-undang.
Tetapi ada juga diantara fuqaha yang menolak pendapat itu dan
tidak memperbolehkan tindak kejahatan (pengguguran) terhadap
janin yang hidup dengan alasan apa pun. Didalam kitab-kitab
mazhab Hanafi disebutkan:
"Bagi wanita hamil yang posisi anak didalam perutnya melintang
dan tidak mungkin dikeluarkan kecuali dengan
memotong-motongnya, yang apabila tidak dilakukan tindakan
seperti ini dikhawatirkan akan menyebabkan kematian si ibu ...
mereka berpendapat, 'Jika anak itu sudah dalam keadaan
meninggal, maka tidak terlarang memotongnya; tetapi jika masih
hidup maka tidak boleh memotongnya karena menghidupkan suatu
jiwa dengan membunuh jiwa lain tidak ada keterangannya dalam
syara'.'"15
Meskipun demikian, dalam hal ini sebenarnya terdapat peraturan
syara', yaitu memberlakukan mana yang lebih ringan mudaratnya
dan lebih kecil mafsadatnya.
Sementara itu, sebagian ulama masa kini membuat gambaran lain
dari kasus di atas, yaitu:
"Adanya ketetapan secara ilmiah yang menegaskan bahwa janin
--sesuai dengan sunnah Allah Ta'ala-- akan menghadapi kondisi
yang buruk dan membahayakan, yang akan menjadikan tersiksanya
kehidupannya dan keluarganya, sesuai dengan kaidah:
"Bahaya itu ditolak sedapat mungkin."
Tetapi hendaknya hal ini ditetapkan oleh beberapa orang
dokter, bukan cuma seorang.
Pendapat yang kuat menyebutkan bahwa janin setelah genap
berusia empat bulan adalah manusia hidup yang sempurna. Maka
melakukan tindak kejahatan terhadapnya sama dengan melakukan
tindak kejahatan terhadap anak yang sudah dilahirkan.
Adalah merupakan kasih sayang Allah bahwa janin yang mengalami
kondisi yang sangat buruk dan membahayakan biasanya tidak
bertahan hidup setelah dilahirkan, sebagaimana sering kita
saksikan, dan sebagaimana dinyatakan oleh para spesialisnya
sendiri.
Hanya saja para dokter sering tidak tepat dalam menentukannya.
Saya kemukakan disini suatu peristiwa yang saya terlibat
didalamnya, yang terjadi beberapa tahun silam. Yaitu ada
seorang teman yang berdomisili di salah satu negara Barat
meminta fatwa kepada saya sehubungan para dokter telah
menetapkan bahwa janin yang dikandung istrinya --yang berusia
lima bulan-- akan lahir dalam kondisi yang amat buruk. Ia
menjelaskan bahwa pendapat dokter-dokter itu hanya melalui
dugaan yang kuat, tidak ditetapkan secara meyakinkan. Maka
jawaban saya kepadanya, hendaklah ia bertawakal kepada Allah
dan menyerahkan ketentuan urusan itu kepadaNya, barangkali
dugaan dokter itu tidak tepat. Tidak terasa beberapa bulan
berikutnya saya menerima sehelai kartu dari Eropa yang berisi
foto seorang anak yang molek yang disertai komentar oleh
ayahnya yang berbunyi demikian:
"Pamanda yang terhormat,
Saya berterima kasih kepadamu sesudah bersyukur kepada Allah
Ta'ala, bahwa engkau telah menyelamatkanku (keluargaku) dari
pisau para dokter bedah. Fatwamu telah menjadi sebab
kehidupanku, karena itu saya tidak akan melupakan kebaikanmu
ini selama saya masih hidup."
Kemajuan ilmu kedokteran sekarang telah mampu mendeteksi
kerusakan (cacat) janin sebelum berusia empat bulan sebelum
mencapai tahap ditiupkannya ruh. Namun demikian, tidaklah
dipandang akurat jika dokter membuat dugaan bahwa setelah
lahir nanti si janin (anak) akan mengalami cacat --seperti
buta, tuli, bisu-- dianggap sebagai sebab yang memperbolehkan
digugurkannya kandungan. Sebab cacat-cacat seperti itu
merupakan penyakit yang sudah dikenal di masyarakat luas
sepanjang kehidupan manusia dan disandang banyak orang, lagi
pula tidak menghalangi mereka untuk bersamasama orang lain
memikul beban kehidupan ini. Bahkan manusia banyak yang
mengenal (melihat) kelebihan para penyandang cacat ini, yang
nama-nama mereka terukir dalam sejarah.
Selain itu, kita tidak boleh mempunyai keyakinan bahwa ilmu
pengetahuan manusia dengan segala kemampuan dan peralatannya
akan dapat mengubah tabiat kehidupan manusia yang diberlakukan
Allah sebagai ujian dan cobaan:
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan
setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya
..." (al-Insan: 2)
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada
dalam susah payah." (al-Balad: 4)
Sesungguhnya ilmu pengetahuan dan teknologi pada zaman kita
sekarang ini telah turut andil dalam memberikan pelajaran
kepada orang-orang cacat untuk meraih keberuntungan,
sebagaimana keduanya telah turut andil untuk memudahkan
kehidupan mereka. Dan banyak diantara mereka (orang-orang
cacat) yang turut menempuh dan memikul beban kehidupan seperti
orang-orang yang normal. Lebih-lebih dengan sunnah-Nya Allah
mengganti mereka dengan beberapa karunia dan kemampuan lain
yang luar biasa.
Allah berfirman dengan kebenaran, dan Dia-lah yang memberi
petunjuk ke jalan yang lurus.
CATATAN KAKI:
1 Fatwa ini sebagai jawaban terhadap pertanyaan yang
diajukan oleh Yayasan Islam untuk Ilmu-ilmu Kedokteran,
di Kuwait, dalam suatu diskusi yang dihadiri oleh para
fuqaha dan para dokter tentang berbagai masalah
kedokteran yang bersentuhan dengan pandangan syara'.
2 Al-Mughni ma'a asy-Syarh al-Kabir, juz 9, hlm. 550.
3 Ibid., juz 6, hlm. 556-557.
4 Al-Muhalla, juz 11.
5 Diriwayatkan oleh Muslim dalam shahih-nya, "Kitab
al-Qadar," "Bab Kaifiyyatu Khalqil-Adamiyyi fi Bathni
Ummihi," hadits nomor 2645.
6 Yang mengagumkan, ilmu kandungan dan anatomi setelah
mengalami kemajuan seperti sekarang menetapkan bahwa
janin setelah berusia empat puluh dua malam memasuki
tahap baru dan perkembangan yang lain.
7 Fathul-Bari juz 14, hlm. 284, terbitan al-Halabi.
8 Sebagian ulama Syafi'iyah --sebagaimana disebutkan
dalam Hasyiyah asy-Syarwani 'ala Ibni Qasim, juz 9 hlm.
4-- menganggap bahwa Imam Abu Hanifah memperbolehkan
menggugurkan kandungan setelah ditiupkannya ruh. Ini
benar-benar kekeliruan terhadap beliau dan mazhab
beliau. Kitab-kitab mazhab Hanafi menentang pendapat
ini.
9 Fathul-Bari, juz 11, hlm. 222, terbitan al-Halabi.
10 Nihayah al-Muhta; karya ar-Ramli, juz 8, hlm. 416
terbitan al-Halabi.
11 Al-Bahrur-Ra'iq, Ibnu Najim, juz 8, hlm 233
Darul-Ma'rifah, Beirut.
12 Fathul-Qadir, juz 2 hlm 495, terbitan Bulaq.
13 Ad-Durrul-Mukhtar wa Hasyiyah Ibnu Abidin 'Alaih,
juz 2, hlm. 380. terbitan Bulaq.
14 Ihya 'Ulumuddin, "Bagian Ibadat," "Kitab Nikah,"
hlm. 737, terbitan Asy-Sya'b.
15 Al-Bahrur Ra'iq, Ibnu Najim, juz 8, hlm. 233.
----------------------- (Bagian 1/2, 2/2)
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
Tidak ada komentar:
Posting Komentar